Rabu 21 Mar 2018 15:38 WIB

Menara Masjid Al-Aqsha: Menjaga Toleransi di Jayapura

Persoalan ini juga akan diselesaikan secara lokal hanya di Kabupaten Jayapura.

Rep: Novita Intan, Fuji E Permana/ Red: Budi Raharjo
Muslimah di Papua (ilustrasi)
Foto: Nuu Waar TV
Muslimah di Papua (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebuah kesepakatan telah dicapai untuk mencari solusi polemik pernyataan sikap PGGJ terhadap pembangunan menara Masjid Al Aqsha Sentani, Jayapura, Papua. Sebuah tim kecil dibentuk untuk menyelesaikan hal itu dalam tempo tiga hari.

Kesepakatan dicapai usai rapat Koordinasi Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang digagas Pemerintah Kabupaten Jayapura. Tim dipimpin Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. Tim segera bekerja mencari solusi terbaik dalam mengatasi persoalan ini.

"Tim tersebut diambil dari perwakilan PGGJ, MUI, FKUB, dan beberapa tokoh lintas agama," ungkap Mathius dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (20/3).

Mathius menjelaskan, secara bersama tim terlebih dulu akan fokus pada pembangunan menara Masjid Agung Al-Aqsha, meski dalam tuntutan Persekutuan Gereja-Gereja Kabupaten Jayapura (PGGJ) ada beberapa poin. "Semua yang disampaikan itu akan kita bicarakan, namun secara baik, supaya semua dapat kita selesaikan tanpa menyinggung pihak lain," ujarnya.

Persoalan ini juga akan diselesaikan secara lokal hanya di Kabupaten Jayapura. "Semua persoalan ini akan kita selesaikan secara lokal melalui tim yang sudah kita bentuk," katanya.

Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Papua Jannus Pangaribuan berharap semua pihak menahan diri dan dapat menyaring informasi, terutama terhadap hoaks. Masyarakat diharapkannya tetap menjaga nilai-nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Ia mengingatkan, Gubernur Papua telah mendapat anugerah tokoh kerukunan.

"Saya pikir itu tanggung jawabnya sangat berat. Namun, juga bisa menjadi sebuah pintu agar masyarakatnya tetap cinta kerukunan, ikut berperilaku rukun, dan saya rasa itu tidak sulit untuk dilakukan," katanya.

PGI temui MUI

Di Jakarta, pengurus Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) berkunjung ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pernyataan sikap PGGJ itu. PGI menegaskan kemajemukan di Indonesia harus terus dirawat.

Ketua Umum PGI, Pendeta Henriette Tabita Lebang mengatakan, sangat menghargai pertemuan PGI dan MUI yang dipimpin langsung Ketua Umum MUI, Kiai Ma'ruf Amin. Dalam pertemuan tertutup itu, Henriette mengatakan, PGI dan MUI mencari langkah-langka terbaik untuk mengatasi masalahnya.

"Sebagaimana tadi Pak Kiai katakan, sudah ada upaya-upaya setempat, baik pemerintah setempat bersama-sama dengan pimpinan agama di daerah Jayapura, kami harapkan dan doakan semoga mereka menemukan solusi yang baik," kata Pendeta Henriette kepada Republika di Kantor MUI, Selasa (20/3).

Ia menyampaikan, PGI bersama MUI dan lembaga-lembaga keagamaan yang lain akan mencoba memberikan dorongan ke arah perkembangan yang positif. Ini supaya semuanya betul-betul merawat kebinekaan di Tanah Air. Di mana pun berada saling menghargai, menopang dan mencari solusi kalau ada perbedaan. "Saya kira itulah semangat persaudaraan dalam kebinekaan," ujarnya.

Menurutnya, memang mencari solusi tidak mudah, tapi sedang menunggu proses penyelesaian masalah yang sedang berjalan di Jayapura. Mereka sedang memulai percakapan. PGI mendorong supaya percakapan berkembang ke arah yang positif. Ke arah di mana semua menghargai kesatuan sebagai Bangsa Indonesia. "Kita sama-sama kembali lagi berupaya untuk merawat kemajemukan kita," ujarnya.

Pendeta Henriette menegaskan, kemajemukan dalam suku, bahasa, agama dan pemikiran yang berbeda harus terus dirawat. Bagaimana supaya perbedaan-perbedaan tersebut tidak memecah belah. Jangan biarkan dipecah belah oleh siapapun karena terlalu mahal kesatuan Bangsa Indonesia untuk dikorbankan.

Apalagi dikorbankan hanya untuk kepentingan sesaat. "Oleh karena itu kami terus mendorong gereja-gereja untuk merawat kemajemukan itu, itu anugerah Allah perlu kita rawat," terangnya.

Ketua Umum MUI, Kiai Ma'ruf mengatakan, MUI dan PGI bertemu untuk membicarakan berbagai masalah terutama yang terjadi di Kabupaten Jayapura. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Juga untuk mencegah terjadinya perpecahan dan konflik antarumat beragama.

"Oleh karena itu kami berbincang, tetapi dari informasi yang ibu (ketua umum PGI-Red) sampaikan, mereka sedang berunding mencari solusi itu, kita akan tawarkan solusi supaya ini tidak kemudian berlanjut," ujarnya.

Ia menerangkan, MUI dan PGI mencoba mencari solusi. Solusi tersebut nanti akan disampaikan MUI dan PGI ke jalurnya masing-masing. Nanti MUI dan PGI akan berikan masukan-masukan bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah di Jayapura.

Memang biasanya solusi ada kurang dan lebihnya, ada yang harus diberikan dan ada yang harus diterima. Artinya saling memberi dan menerima. "Kita harapkan itu terjadi di sana, kita belum bisa membayangkan penyelesaiannya seperti apa, tapi kita akan memberikan masukan," ujarnya.

 

Sejauh ini belum tergambarkan bagaimana solusi yang akan dicapai oleh tim kecil itu.  Solusi ini diharapkan bisa tercapai dengan baik tanpa mengorbankan toleransi, kebersamaan, dan kebinekaan di Jayapura.

Sebelumnya, Persekutuan Gereja-Gereja Kabupaten Jayapura (PGGJ) mengeluarkan pernyataan sikap terhadap pembangunan menara Masjid Al-Aqsha Sentani. Dalam pernyataan yang ditandatangani sejumlah pendeta pada 16 Februari 2018, PGGJ juga menyikap beberapa hal lainnya terkait ajaran Islam di Jayapura.

Berikut beberapa poin tuntutan PGGJ:

1. Bunyi azan yang selama ini diperdengarkan dari pengeras suara kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid.

2. Tidak diperkenankan berdakwah di seluruh tanah Papua secara khusus di Kabupaten Jayapura.

3. Siswi-siswi pada sekolah negeri tidak menggunakan pakaian seragam atau busana bernuansa agama tertentu.

4. Tidak boleh ada ruang khusus seperti mushala pada fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, pasar, terminal dan kantor pemerintah.

5. PGGJ akan memproteksi area perumahan KPR BTN tidak boleh ada pembangunan masjid dan mushala.

6. Pembangunan rumah ibadah di Kabupaten Jayapura wajib mendapat rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah dan pemilik hak ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah.

7. Tinggi bangunan rumah ibadah dan menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.

8. Pemerintah dan DPR Kabupaten Jayapura wajib menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Kabupaten Jayapura.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement