REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap panitera dan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang merupakan indikator bahwa budaya suap sudah menjadi praktik dalam penegakan hukum, utamanya di peradilan. Padahal, gaji hakim sudah tergolong besar.
"Kebiasaan bahkan budaya suap itu sudah menjadi praktik yang biasa terjadi dalam praktik penegakan hukum," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/3).
Fickar mengungkapkan, hal itu tentu sangat memprihatinkan. Sebab, segala sektor sudah diperbaiki.
Gaji hakim pun sudah tergolong lumayan dengan Rp 25 juta per bulan. "Gaji yang lumayan besar, aturan yang ketat, sistem pelayanan terpadu dan lainnya, tapi manusianya sudah bebal, tak bisa berubah, selalu mengulangi perbuatan negatif ini, dan meregenerasi dengan lancar," kata dia.
Baca: KPK Kembali OTT di Pengadilan, MA Mengaku Kecolongan.
Pada kasus-kasus yang kurang mendapat perhatian masyarakat, tutur Fickar, besar kemungkinan tindakan suap-menyuap terjadi. Ironisnya, lanjut dia, perbuatan tersebut banyak dilakukan oleh hakim-hakim senior yang sedang menjelang pensiun.
Tetapi, Fickar menambahkan, yang lebih ironis lagi yaitu ketika putusan-putusan yang dihasilkan menyebabkan raibnya asetnya negara terutama aset BUMN. Dengan modus perdata berupa perjanjian, joint venture, sewa dan penguasaan aset, tidak sedikit pihak swasta dengan modus investasi justru menguasai aset negara melalui putusan-putusan pengadilan yang hakim-hakimnya menerima suap.
"Berapa banyak aset negara BUMN yang raib tak terselamatkan. Aset-aset BUMN besar seperti Pertamina, Pelindo, KBN, PT Kereta Api dan sebagainya tidak sedikit yang berpindah tangan karena putusan pengadilan," tutur dia.
Karena itu, menurut Fickar, seharusnya ada perhatian lebih dari Kementerian BUMN untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi ulang aset-aset negara yang dikuasai. "Jangan sampai modus investasi justru menggerogoti kepemilikan aset negara oleh swasta," katanya.
Fickar pun mengkritik Komisi Yudisial (KY). Ia mengatakan KY seharusnya tidak hanya menjadi pemadam kebakaran yang baru repot setelah kasusnya terjadi. KY harus mulai mengamati perkara-perkara yang objeknya penguasaan aset negara, sehingga dapat dimonitor sejak dini.
"Itu untuk mengurangi kerugian negara. Meski objek kewenangan KY adalah perilaku Hakim, tapi adalah sesuatu yang baik jika KY ikut menyelamatkan aset negara," ucapnya.
Sementara, Mahkamah Agung sebagai induk peradilan sengketa sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, juga seharusnya lebih peka. Tidak cukup hanya dengan menciptakan sistem pengawasan yang ketat tapi manusianya tetap dijadikan sebagai pengendali.
Seharusnya, papar Fickar, juga dipikirkan bagaimana budaya korupsi ini tidak bisa berkembang biak meregenerasi dengan lancar. Padahal dari sudut pendapatan, gaji para hakim sudah cukup memadai. Itu artinya, dari perspektif penyebab korupsi yang dikarenakan kebutuhan itu sudah teratasi.
Baca: KY: Sebagian Besar Rekomendasi tidak Ditindaklanjuti oleh MA.
"Tapi bagaimana menghilangkan penyebab korupsi karena keserakahan ini harus menjadi perhatian khusus MA. Semua mengerti, bukankah para petinggi MA pun berasal dari hakim karir bawahan yang sangat cukup mengerti kondisi hakim-hakim bawahan, tengahan maupun hakim atasan," ujarnya.