Selasa 13 Mar 2018 00:01 WIB

Yunus Husein: Transaksi Irvanto Terindikan Pencucian Uang

Yunus mengatakan modus-modus dalam transaksi Irvanto bagian dari 'laundring'

Mantan Ketua Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Mantan Ketua Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan oleh keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang. Yunus memberikan keterangan selaku ahli dari jaksa penuntut umum KPK untuk perkara dengan terdakwa Setya Novanto yang didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun dari total anggaran KTP-el sebesar Rp 5,9 triliun.

"Modus-modus yang disampaikan itu mengindenfikasikan sebagai bagian dari 'laundring' atau menyamarkan harta yang dipakai melalui beberapa transaksi," kata Yunus di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (12/3).

Dalam sidang-sidang sebelumnya, para saksi mengungkapkan ada uang 3,5 juta dolar AS yang didapatkan Irvanto saat masih menjabat sebagai direktur PT Murakabi Sejahtera yang ikut dalam tender KTP-el. Cara memperoleh uang itu adalah melalui sistem barter yaitu Irvanto mendatangi "money changer" untuk menukarkan uang dolar AS dari luar negeri menjadi dolar AS yang diterima di dalam negeri.

Petugas "money changer" itu lalu menghubungi rekan-rekannya "money changer" di Indonesia maupun luar negeri untuk selanjutnya ditransfer ke masing-masing "money changer" di luar negeri dan di Indonesia tanpa perlu uang itu melintasi batas negara. Transaksi terjadi pada Desember 2011 sampai Februari 2012 itu salah satunya berasal dari rekening PT Biomorf Mauritius di Mauritius.

"Mauritius termasuk 'high risk country' dalam rangka pencucian uang, penggunaan 'money changer' juga 'suspicious' (mencurigakan). Bank-bank asing tidak mau mengirim uang ke rekening 'money changer' jadi banyak pemilik 'money changer' membuat rekening atas nama pemiliknya, apalagi ini ada transaksi tunai yang susah dilacak menghindari rezim pencucian uang jadi ada indikasi ingin menutupi sesuatu," jelas Yunus.

Yunus menambahkan bahkan skema yang digunakan oleh Irvanto itu disebut "mulitalteral setting" dengan adanya kreditior di luar negeri dan ada perusahaan debitur di luar negeri yaitu Biomorf Mauritius yang membayar uang ke dalam negeri yang diterima oleh debitor mengajukan uang keluar negeri dan kreditur yang menerima uang dari Biomorof.

"Utang piutang biasanya hanya dua pihak saja, ini 'complicated' sehingga ini sudah direncakanan transaksinya tidak begitu saja menerima sumber dana langsung dari umber dananya dengan modus 'misuse of legitimate business' yaitu menyalahgunakan usaha-usaha besar untuk 'multilateral set off', transaksi yang tidak melalui 'crossborder'," tambah Yunus.

Agar suatu perbuatan menjadi tindak pidana pencucian uang, menurut Yunus juga tidak perlu memenuhi seluruh unsur yaitu menempatkan (placement), layering (memutar-mutar uang sehingga menjauhkan dari dirinya) dan integration (menikmati harta).

"Tidak harus proses ini selesai, bisa saat masih 'layering' sudah tertangkap sesuai rumusan pasal 3 UU Pencegahan TPPU, tidak kumulatif karena satu saja sudah memenuhi," tegas Yunus.

Dalam dakwaan Setnov disebutkan bahwa Setnov menerima uang 7,3 juta dolar AS melalui Made Oka Masagung (rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura) seluruhnya 3,8 juta dolar AS melalui rekening OCBC Center branch atas nama OEM Investmen Pte Ltd sejumlah 1,8 juta dolar AS dan melalui rekening Delta Energy Pte Ltd di bank DBS Singapura sejumlah 2 juta dolar AS.

Setnov juga masih menerima uang dari mantan direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakannya) tanggal 19 Januari-Februari 2012 seluruhnya berjumlah 3,5 juta dolar AS. Irvanto juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan sejak 9 Maret 2018.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement