REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indoenesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, melihat tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyebutkan adanya peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 bukanlah hal etis. Sebab, KPK belum memiliki alat bukti yang bisa dijadikan sebagai landasan.
Mudzakir menjelaskan, dalam teori hukum pidana, KPK baru bisa melakukannya apabila sudah memiliki dua alat bukti. "Saat ini, mereka belum punya, kan. Jadi, mereka tidak berhak dan rasanya tidak etis apabila sudah mempublikasikan informasi tersebut ke khalayak ramai," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/3).
Kalaupun ingin menyampaikan informasi, seharusnya KPK dapat melakukannya sejak jauh-jauh hari, sebelum calon kepala daerah tersebut sudah diresmikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi peserta Pilkada. Dengan publikasi tersebut, Mudzakir melihat, KPK justru memalukan KPU dan pihak terkait yang sudah meloloskan peserta Pilkada.
Tidak hanya itu, dampak dari pernyataan KPK juga akan dirasakan pada perjalanan Pilkada. Sebab, informasi tersebut bisa saja dijadikan sebagai teror antar peserta Pilkada. "Dampaknya, persaingan menjadi tidak sehat," ujar Mudzakir.
Pernyataan KPK tersebut pun berpengaruh pada masyarakat, terutama pemilih cerdas. Optimisme yang sudah tumbuh dalam diri mereka bisa saja menurun. Untuk mengantisipasinya, Mudzakir berharap KPK bisa segera memberikan pernyataan yang lebih jelas terkait informasi ini.
Sebelumnya, Ketua KPK, Agus Raharjo menyebutkan adanya calon kepala daerah di Pilkada Serentak terindikasi kuat menjadi tersangka kasus yang ditangani KPK. Tanpa menyebutkan nama, Agus menjelaskan bahwa mereka telah melakukan korupsi di waktu yang lalu.
Terkait isu ini, KPK melakukan monitoring secara luas di Pulau Jawa maupun di luarnya. Menurut Agus, peserta Pilkada tersebut ada yang pejawat maupun sudah berhenti dari jabatannya.