Kamis 07 Nov 2024 11:45 WIB

Jaksa Agung Sebut Korupsi di Indonesia Memprihatinkan, Menjamur dari Tingkat Desa

Korupsi yang terjadi di Indonesia dimulai dari tingkat terendah seperti kepala desa.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: Mas Alamil Huda
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut perilaku korupsi di Indonesia sudah pada kondisi sangat memprihatinkan.
Foto: dok Republika
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut perilaku korupsi di Indonesia sudah pada kondisi sangat memprihatinkan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Jaksa Agung ST Burhanudin menyebut perilaku korupsi di Indonesia sudah pada kondisi sangat memprihatinkan. Ia mengatakan, praktik tersebut sudah menjamur dari tingkat pemerintahan desa.

“Bahwa korupsi di Indonesia betul-betul memprihatinkan, bahkan setiap waktu Bapak Presiden selalu menyampaikan bahwa kebocoran terjadi adalah hampir lebih dari 30 persen dari anggaran,” kata Burhanudin saat memberikan materi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), di Sentul, Bogor, Kamis (7/11/2024).

Baca Juga

Pihaknya juga mengatakan, kasus korupsi semakin bertambah setiap tahunnya. Bahkan dengan sistem otonomi daerah, korupsi tersebut dimulai dari tingkat terendah seperti kepala desa.

“Dari tahun ke tahun bahkan semakin tambah dan … sekarang dengan otonomi mulai ada penyebaran korupsi mulai dari kepala desa, pemerintahan terendah sampai ke atas korupsi telah menjamur di situ,” katanya.

Kendati demikian, pihaknya mengimbau agar kejaksaan negeri (kejari) hingga kejaksaan tinggi (kejati) hati-hati dalam penindakan kasus korupsi di daerah. Pasalnya, baik kepala desa maupun kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.

“Untuk penanganan korupsi tetap hati-hati, terutama yang menyangkut kepala daerah, kepala desa. Suatu badan pemerintah terendah di mana pemimpinnya dipilih dari masyarakat dan masyarakat plural, tidak (hanya) berpengetahuan saja,” katanya.

Menurutnya, kebocoran anggaran terjadi lantaran kepala daerah atau kepala desa kesulitan mengatur anggaran. Oleh sebab itu, ia meminta kejari dan kejati untuk memperbaiki sistemnya setelah dilakukan penindakan hingga persidangan agar kasus korupsi tidak terulang.

“Dia dipilih menjadi kepala desa, kemudian yang tadinya tidak pernah mengelola keuangan tiba-tiba memperoleh Rp 1-2 miliar setahun, ini tugas berat buat mereka karena mereka harus mempertanggungjawabkan,” katanya.

“Sistem keuangan pemerintah inilah yang menyebabkan kebocoran terjadi karena dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan setelah menerima itu dan itu yang saya sampaikan ke jaksa di daerah untuk hati-hati menanganinya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement