REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Tipidsiber Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Fadil Imran mengatakan, terdapat sejumlah keuntungan melakukan kejahatan siber. "Mengapa lakukan kejahatan siber, pertama kejahatannya tersembunyi, anonimitas tinggi, kecepatan tinggi, dia mudah melarikan diri," kata dia dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) bertema Siapa Dibalik MCA, Selasa (6/3).
Dia mengatakan, kejahatan siber berupa menyebar berita bohong dan ujaran kebencian mulai marak sejak 2017. Ia menyebut Pilkada DKI Jakarta merupakan titik awal mencuatnya berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian. Namun, produksi dan penyebaran berita bohong mulai menurun sejak tertangkapnya kelompok Saracen.
"Kepolisian mengungkap 92 kasus penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, serta bermuatan fitnah. Saracen ditangkap, isu SARA menurun, khususnya April," ujar dia. Saat itu kepolisian menemukan Saracen menyerang konten pejabat pemerintah, tokoh politik.
Kemudian, kepolisian mengungkapkan kelompok Muslim Cyber Army (MCA). Namun terkait penamaan, dia mengatakan, bukan polisi yang melabeli kelompok tersebut dengan embel-embel agama tertentu.
"Polri tak pernah melabel orang, penangkapan bukan identitas sosial, tetapi karena kejahatan, MCA produsen hoaks," tutur dia.
Fadil mengatakan, kepolisian melakukan serangkaian penindakan dan analisis ihwal siapa yang rutin memproduksi atau memviralkan hoaks, yang isunya membahas kebangkitan PKI, penyerangan ulama. Berdasarkan penyelidikan polisi, kata dia, aparat menemukan kelompok United MCA, akun facebook grup yang rutin memproduksi dan memviralkan hoaks.