REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tim Republika
PDIP sudah mendeklarasikan Joko Widodo menjadi calon presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Usai pendeklarasian di Bali tersebut, sejumlah nama pun masuk dalam kandidat calon wakil presiden pendamping Jokowi pada pesta demokrasi tahun depan.
Tak hanya dari dunia politik atau politikus saja yang mencuat sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Nama-nama dari kalangan tokoh agama muncul secara tak diduga dalam survei Media Survei Nasional (Median) terkait elektabilitas sejumlah calon presiden 2019.
Survei tersebut terlebih dulu menyuguhkan 33 nama tokoh nasional kepada responden yang memiliki hak pilih. Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengungkapkan, meski menyodorkan 33 nama tersebut, penelitiannya tetap mempersilakan responden mengajukan nama lain sebagai calon presiden.
Yang menarik, muncul nama dua ulama yang dalam satu tahun terakhir wara-wiri dalam pemberitaan media massa. Keduanya yakni Habib Rizieq Shihab dan Ustaz Abdul Somad. Dua ulama yang sedang naik daun tersebut masuk ternyata dipilih responden untuk menjadi capres atau cawapres pada Pilpres 2019. Padahal, menurut Rico, nama Habib Rizieq dan Ustaz Somad tidak tercantum dalam daftar nama capres yang disodorkan Median.
"Saya kira dengan model seperti ini jauh lebih fair karena lebih terbuka," tutur dia dalam peluncuran hasil survei Median yang dilakukan pada 1–9 Februari 2018, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (22/2).
Ustaz Abdul Somad
Dalam elektabilitas sebagai capres, kedua ulama itu mengantongi 0,3 persen. Angka itu berada di atas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan 0,2 persen, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (0,2 persen), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (0,2 persen), dan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko (0,1 persen).
Rico mengatakan, pertanyaan yang diajukan kepada responden saat itu adalah "jika pemilihan presiden dilakukan saat ini, dari daftar nama di bawah ini siapakah yang Anda pilih menjadi Presiden RI, dan jika pilihan Anda tidak ada dalam daftar, harap Anda sebutkan?".
Dari kalangan politikus berbasis parpol Islam, muncul nama mantan presiden PKS Anis Matta yang mengantongi elektabilitas 1,5 persen. Anis mengungguli nama-nama besar lain yang muncul belakangan, seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan.
"Capres dengan suara terbesar dari kalangan politikus basis Islam, sejauh ini adalah Anis Matta," ujar Rico.
Selain Anies, ada juga Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah (0,9 persen); TGB Zainul Majdi (0,8 persen); Ahmad Heryawan (0,6 persen); Mahfud MD (0,5 persen); dan Rhoma Irama (0,3 persen). Nama-nama lainnya, seperti Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas), berada di bawah persentase tersebut.
Politikus PAN, Muslim Ayub, mengaku pihaknya tidak terlalu percaya dengan hasil survei Median. Ayub pernah meminta kepada Zulhas untuk menjadi penantang Joko Widodo pada 2019 mendatang.
"Meski tidak secara resmi, kami pernah meminta Pak Zul untuk maju, baik itu capres maupun cawapres," ujar Ayub. Dia sangat yakin elektabilitas Zulhas cukup tinggi, tidak seperti yang disampaikan oleh lembaga survei pada beberapa waktu lalu.
Lalu, bagaimana peluang Joko Widodo memenangkan Pilpres 2019, mengingat sejumlah penantang punya kans cukup kuat. Sebut saja Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta.
Mencalonkan Prabowo sebagai capres merupakan harga mati bagi Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan, kecil kemungkinan Partai Gerindra mencalonkan tokoh lain selain Prabowo.
"Saya kira sejauh ini boleh dikatakan seratus persen semua kader Gerindra menginginkan Pak Prabowo sebagai calon presiden," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/2).
Terkait hal tersebut, Fadli mengatakan, dalam waktu dekat Partai Gerindra akan melakukan konsolidasi nasional pada Maret 2018 ini. "Tanggalnya sedang ditentukan dan kita melihat jadwal-jadwal yang lain," tutur Wakil Ketua DPR tersebut.
Sementara, untuk calon wakil presiden (cawapres), Partai Gerindra mengaku belum menggodok seperti apa cawapres yang diharapkan. Pasalnya hal itu diputuskan nanti setelah bertemu dengan partai mitra koalisi.
"Ya nanti pada waktunya kita melihat, sekarang ini ya tentu lagi persiapanlah ancang-ancang dan akan duduk di komunikasi politik untuk dijalankan terus," ucap Fadli.
Wakil Sekjen DPP Gerindra Andre Rosiade mengatakan, dalam pencalonan presiden, Gerindra memang membutuhkan partai lain untuk berkoalisi. Sejauh ini PKS masih disebut sebagai partai yang akan berkoalisi pada Pilpres 2019 mendatang.
"Kita tahu PKS komitmen dengan kita, tapi tidak menutup kemungkinan Gerindra akan membuka komunikasi dengan partai lain yang belum mencalonkan Jokowi," kata Andre, Ahad (25/2).
Gerindra, lanjut Andre, akan terus membuka komunikasi dengan PAN dan Demokrat. Kedua partai itu belum menyatakan sosok yang akan didukung. Selain itu, partai-partai baru pun akan dijajaki Gerindra untuk melakukan koalisi dan mendukung Prabowo Subianto sebagai capres.
Selain itu, Andre mengatakan, sangat yakin Prabowo akan memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Ada beberapa hal yang membuat Gerindra yakin. Pertama, elektabilitas Jokowi tak pernah tembus di angka aman.
“Ini berbeda dengan SBY ketika setahun menjelang pilpres pada 2008 lalu sudah di atas angka 60 persen,” kata Andre.
Meski demikian, Direktur Eksekutif lembaga kajian Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai Jokowi masih menjadi calon kuat melawan calon presiden alternatif. Pangi mengatakan, koalisi PKS dan Gerindra membutuhkan sosok baru untuk dijadikan capres alias capres alternatif. Hal itu diperlukan, jelas dia, untuk menyaingi Jokowi yang bakal didukung beberapa parpol besar.
"Maka, di sinilah diperlukannya calon alternatif, bisa saja Gerindra-PKS mengusung Gatot Nurmantyo-TGB (Tuan Guru Bajang --M Zainul Majdi), atau Gatot-Anies Baswedan," kata Pangi, Ahad (25/2).
Menurut dia, saat ini mereka sedang menggodok sosok baru karena jika tidak muncul capres alternatif, mereka bisa kesulitan melawan Jokowi. Bila Prabowo tidak maju dalam Pilpres mendatang, tidak menutup kemungkinan Prabowo bakal jadi "king maker". Karena memang, kata Pangi, pertumbuhan elektoral Prabowo sudah tidak ada, bahkan sudah klimaks.
"Karena memang orang juga sudah jenuh juga. Apalagi hasil survei masyarakat menginginkan sosok baru, mungkin di luar Jokowi dan Prabowo," terang Pangi.
PKS dan Gerindra kemungkinan besar tetap dalam satu rel koalisi. Sementara PKB, PAN, Demokrat masih belum pasti atau justru mereka akan membuat poros baru.
Pangi menyatakan, jika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dirangkul Jokowi, maka Demokrat pasti bergabung poros PDI Perjuangan. Demikian juga dengan PKB, kalau digandeng dengan Jokowi, pasti bakal bergabung ke poros tersebut.
"Tapi kalau PAN saya lihat cenderungnya ikut PKS-Gerindra. PAN juga sudah punya kedekatan dengan PKS Gerindra. Maka tiga poros sangat mungkin terulang," jelas Pangi.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dilaporkan telah mengutus utusan untuk berkomunikasi dengan AHY sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menilai, sosok AHY memang layak. Apalagi dengan rekam jejak yang dimiliki bekas calon gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Kalau kita lihat track record-nya AHY ini membanggakan. Artinya beliau berkiprah di TNI dan banyak yg sudah dilakukan. Kemudian ikut Pilgub DKI. Kalau misalnya AHY dipercaya sebagai cawapres Pak Jokowi tentu kita semua ikut mendukung tapi yang jelas (tergantung) AHY-nya sendiri," kata Nurhayati di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin (26/2).
Putra Presiden ke-6 RI, Agus Harimurti Yudhoyono mendatangi Istana Negara, Jakarta.
Nurhayati mengaku partainya memang ingin membuka berkomunikasi dengan PDIP. "Dalam tahun politik dan mendekati pilpres memang komunikasi Demokrat juga dibuka untuk siapa saja karena komunikasi politik itu penting, meskipun Demokrat belum berkoalisi dengan siapa-siapa," ujarnya.