Sabtu 10 Feb 2018 12:48 WIB

'Apa Perlu Bawaslu Ikut Campur dalam Wilayah Keagamaan?'

Bawaslu hanya bisa sosialisasi bukan ikut campur urusan keagamaan

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Bilal Ramadhan
Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua hubungan antar lembaga dan luar negeri Dewan Masjid Indonesia (DMI), Muhammad Natsir Zubaidi mempertanyakan, apakah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu ikut campur dalam wilayah keagamaan. Hal tersebut dipertanyakan oleh Natsir, menyusul adanya rencana Bawaslu untuk menyusun materi khotbah yang melibatkan tokoh lintas agama guna menghindari ceramah yang menjurus ke ranah politik atau pun SARA dalam kampanye Pilkada serentak 2018.

"Apakah perlu Bawaslu ikut campur dalam wilayah keagamaan. Masa Bawaslu ikut campur tangan sampai begitu," kata Natsir saat dihubungi Republika.co.id, Jakarta, Sabtu (10/2).

Natsir mengatakan, konteks yang paling penting dilakukan Bawaslu adalah melakukan sosialisasi mengenai etika politik kepada masyarakat. Jadi, lanjutnya, Bawaslu tidak perlu ikut campur dalam ranah keagamaan. Jadi hanya dalam konteks sosialisasi.

"Misalkan sosialisasi mengenai undang-undang pemilu. Misalkan bahwa di dalam tempat-tempat ibadah atau pun sekolah tidak diperbolehkan untuk kampanye politik praktis, atau kampanye mengenai orang yang dicalaonkan oleh partai misalkan," tambahnya.

Ketua Umum DMI Jusuf Kalla, lanjut Natsir, telah mengatakan, tidak masalah jika menyampaikan mengenaiilmu pengetahuan yang berkaitan dengan politik dalam kontek etika dan moral. Namun, berbeda dengan politik praktis yang tidak diperbolehkan untuk disampaikan kepada masyarakat dalam ranah keagamaan.

"Jadi harus dibedakan antara wilayah etika moral politik dan politik praktis," lanjutnya.

Walaupun begitu, lanjut Natsir, memang diperlukan adanya diskusi antara ranah politik dan ranah keagamaan. Namun, jangan sampai dicampuradukkan.

"Memang agama harus menyinari etika politik, etika sosial, etika budaya dan etika ekonomi. Kan memilih pemimpin harus yang siddiq, amanah, tabligh, fathanah gitu kan. Itu kan tidak termasuk politik praktis," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement