REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan sebagian besar pemohon perkara sengketa Pilkada serentak 2018 memperkarakan dugaan politik uang selama tahapan dan pelaksanaan pilkada. Banyak dugaan kecurangan berkedok kegiatan, tetapi ada unsur politik uang.
“Namun banyak juga mobilisasi aparatur sipil negara dan pemilih yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif," kata Fajar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (26/7).
Fajar menilai hal itu menunjukan bahwa permohonan sengketa Pilkada serentak 2018 tidak semata-mata karena persoalan selisih hasil suara. Namun, banyak permasalahan yang diangkat terkait dengan dugaan pelanggaran-pelanggaran oleh pihak lawan dan penyelenggara pilkada.
Fajar menjelaskan, meskipun MK membantu menyelesaikan sengketa hasil pilkada serentak, tetapi tidak berarti Majelis Hakim Konstitusi tidak memperhatikan proses dan pelaksanaan pilkada. Fajar menjelaskan secara prinsip MK tetap mengaju pada Pasal 158 UU Pilkada.
"Namun dalam hal tertentu terkait prinsip demokrasi itu, tidak menutup kemungkinan MK keluar dari Pasal 158 dan MK memeriksanya lebih lanjut," kata Fajar.
Prinsip yang dimaksud oleh Fajar meliputi mobilisasi pemilih hingga politik uang. "Yang terpenting harus ada bukti-bukti yang nyata dan kemudian diyakini oleh hakim MK sendiri memang perlu didalami," kata Fajar.
Fajar memberi contoh beberapa daerah yang tidak memenuhi syarat Pasal 158 UU Pilkada, tetapi perkaranya masih dapat dilanjutkan ke pemeriksaan. "Ada beberapa daerah seperti Pilkada di Kabupaten Yapen, Puncak Jaya, dan Tolikara, nah MK menemukan hal-hal prinsip dan spesifik maka bisa dilanjutkan ke persidangan persidangan, terlepas itu terbukti atau tidak tetapi MK memeriksa dan mendalami," kata Fajar.