Selasa 17 Jul 2018 08:12 WIB

Survei dan Hitung Cepat Dapat Berbeda karena Mobilisasi

Responden survei bisa saja merahasiakan preferensi politiknya.

Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei dan hitung cepat dalam Pilkada Serentak 2018 berbeda dapat disebabkan adanya mobilisasi pemilih yang mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Ini seperti yang terjadi di Jawa Barat.

"Di survei prapilkada seorang pemilih yang mendukung kandidat tertentu mungkin saja di hari pemilihan tidak datang ke TPS karena calon yang didukung unggul jauh dan berpikir satu suara tidak akan berpengaruh," kata Peneliti politik The Habibie Center Bawono Kumoro. Kumoro dalam diskusi "Survei dan Hitung Cepat, Mengapa Berbeda?" di Jakarta, Senin (17/7).

Hal sebaliknya pun dapat terjadi, yakni hasil survei yang dilakukan sebelum pilkada menunjukkan satu pasangan calon dianggap lemah. Alhasil, tim suksesnya melakukan mobilisasi basis pemilih di detik terakhir sebelum pemungutan.

Selain mobilisasi, adanya ketidakmampuan lembaga survei menebak kemungkinan pemenang yang bersaing ketat, dia mengatakan, karena survei dan hitung cepat berbeda dalam pengumpulan data. Survei dilakukan dengan mendatangi responden yang penilaian subjektifnya dapat berubah, sementara hitung cepat dilakukan dengan mengambil sampel di tempat pemungutan suara (TPS).

Hal lain yang menyebabkan perbedaan hasil survei dan hitung cepat, tutur Bawono, adalah karena responden survei merahasiakan preferensi politiknya. Salah satunya dengan menjawab pasangan calon yang sebenarnya bukan ingin dipilih.

Dalam hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada 7-13 Juni 2018, dari 21,9 persen responden yang tidak menandai kertas suara, sebanyak 62,7 persen menjawab rahasia, 32,7 persen belum memutuskan dan 4,6 persen tidak memilih.

Untuk kasus Jawa Barat, Bawono menuturkan ketidakcocokan survei dan hitung cepat tidak hanya terjadi dalam Pilkada Serentak 2018. Kondisi serupa terjadi pada Pilkada Jawa Barat 2013, yakni terdapat lonjakan suara pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki seperti Sudrajat-Ahmad Syaikhu.

Tidak adanya partai politik berkuasa di Jabar diperkirakan salah satu faktor melesetnya hasil survei karena kemantapan memilih ditentukan saat akhir. "Jabar ini tanah 'tidak bertuan' menyebabkan orang di sana tidak ada keterikatan pada partai tertentu, jadi survei meleset terus kalau Jabar. Dari empat pemilu terakhir dari 1999, hanya tiga partai bergantian di Jabar, Golkar, Demokrat dan PDIP," kata dia. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement