Jumat 09 Feb 2018 20:40 WIB

Desak Ketua MK Mundur, Sulis: Hakim tak Boleh tidak Jujur

Profesor peduli MK menilai, persoalan etika merupakan persoalan yang amat sakral.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Perwakilan dari Profesor Peduli MK memberikan pernyataan pers di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/2).
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Perwakilan dari Profesor Peduli MK memberikan pernyataan pers di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan para profesor dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia yang meminta Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat untuk mundur bukanlah gerakan yang spontan. Persoalan etika, dinilai merupakan persoalan yang amat sakral.

"Gerakan moral yang kami tawarkan ini bukanlah suatu gerakan spontan, apalagi personal," ungkap perwakilan Profesor Peduli MK Sulistyowati Irianto dalam konferensi pers yang digelar di Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/2).

Profesor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu mengungkapkan, di dunia ini ada dua kerajaan besar. Kerajaan pertama adalah kebenaran yang pintunya dijaga oleh pada ilmuwan. Kerajaan kedua adalah keadilan yang pintunya dijaga oleh para hakim.

"Maka hakim dan ilmuwan itu tidak boleh berbuat tidak jujur. Mereka harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya itu kepada Tuhan dan publik di tanah airnya," ujar Sulis, sapaan Sulistyowati.

Arief Hidayat telah diputuskan Dewan Etik MK melanggar etik sebanyak dua kali. Pertama, terkait membuat katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk 'menitipkan' kerabatnya. Kedua, karena pertemuannya dengan DPR sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan hakim konstitusi tanpa adanya undangan resmi. Kedua pelanggaran itu termasuk ke dalam jenis pelaggaran ringan.

"Berdasarkan itu semua, ketika melihat kasus-kasus ini saya merasa penting untuk ikut. Karena yang kita pertahankan itu adalah Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan rules of law," jelasnya.

Publik, kata Sulis, bisa kehilangan kepercayaan terhadap MK dengan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arief. Ditambah lagi dengan kasus pelanggaran hukum yang menjerat dua hakim konstitusi terdahulu.

"Yang ini mungkin berbeda, tidak pelanggaran hukum tapi ada pelanggaran etika. Sanksi moral itu lebih berat dari sanksi badan," ujarnya.

Di samping itu, perwakilan Profesor Peduli MK lainnya, Mayling Oey, menyebutkan, persoalan etika merupakan hal yang amat sangat sakral. Menurut profesor dari Fakultas Ekonomi UI, etika begitu penting untuk dijaga.

"Saya sebagai pengajar dan pendidik selalu mengajarkan, etika itu amat sangat sakral dan penting. Saya ajarkan ke mahasiswa untuk selalu jujur, katakanlah fakta yang ada, bukan apa yang kita mau," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement