Jumat 09 Feb 2018 17:15 WIB

Suara Muhammadiyah, Jejak Media Perjuangan Kemerdekaan RI

Majalah ini menyebarkan ide-ide atau nalar berkemajuan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Gedung Suara Muhammadiyah.
Foto: Dokumen.
Gedung Suara Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID,  YOGYAKARTA -- Salah satu ujung tombak syiar persyarikatan Muhammadiyah dalam berkiprah di tengah umat dan bangsa adalah media Suara Muhammadiyah (SM). Dari penilaian Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, SM selama ini tak hanya mengupas perkembangan Muhammadiyah, namun juga mengembangkan kesadaran khalayak luas soal keindonesiaan.

Ia menerangkan, majalah yang bernama awal Swara Moehammadiyah itu berdiri sejak 1915, sebagaimana temuan sejarawan Kuntowijoyo di perpustakaan Universitas Leiden untuk edisi nomor kedua. Sayangnya, edisi nomor satu belum ditemukan.

Awal perjalanan, SM mengupas perkembangan situasi umat dan masyarakat di Yogyakarta khususnya, dan di Indonesia atau Hindia Belanda pasca 1917. Jiwa awalnya menyatu dengan berdirinya Bahagian Taman Pustaka, yang membangun tradisi literasi (iqra).

"Sekaligus, membawa misi mensyiarkan pikiran-pikiran dan kerja-kerja pembaruan Islam yang dilakukan Persyarikatan Muhammadiyah, contohnya, 1922 ada tulisan ‘Islam Sebagai Agama Nalar’ yang mengisyaratkan majalah ini menyebarkan ide-ide atau nalar berkemajuan," kata Haedar, Kamis (8/2).

Keberadaan SM yang mampu bertahan 103 tahun, dirasa menunjukkan ada elan-vital sejalan zaman, sehingga mampu mengatasi kesulitan, tantangan, dan memenuhi tuntutan zaman. Sempat surut, SM terus bertahan demi mempertahankan misi pembawa Islam modern.

Pada 2016 lalu, SM memperoleh penghargaan MURI sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan. Itu menjadi bukti objektif pengakuan pihak luar akan eksistensi SM yang hadir mengatasi pasang-surut di tengah perubahan zaman.

"Ketika sejumlah majalah Islam yang lahir pasca kemerdekaan sampai mutakhir berguguran, alhamdulillah SM tetap bertahan, artinya SM memiliki jiwa mandiri dan petarung, tidak menjadi benalu, sehingga mampu eksis hingga saat ini," ujar Haedar.

Menurut penelusuran sejarah evolusi penggunaan bahasa Jawa, awalnya SM memang memakai bahasa dan huruf Jawa rentang 1915-1916. Walau tetap berbahasa Jawa pada 1920-1921, SM sudah menggunakan huruf latin.

Pada 1922, campuran bahasa Jawa-Indonesia dengan tulisan latin mulai diterapkan, dan satu tahun setelahnya memakai bahasa Melayu atau kemudian dikenal bahasa Indonesia. Masih dari kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, majalah historis ini memelopori penggunaan bahasa Indonesia.

Padahal, penggunaan bahasa Indonesia waktu itu tentu belum meluas, masih cukup jauh dari terjadinya Kongres Pemuda 1928. Peralihan itu menegaskan tumbuhnya kesadaran keindonesiaan secara orisinal, dan Muhammadiyah sejak awal telah dialiri jiwa perjuangan kemerdekaan.

Berkiprah tanpa pamrih

Sajian yang terus menyiarkan pikiran-pikiran dan kerja-kerja kemajuan yang bermanfaat luas bagi masyarakat dan bangsa membantu melepaskan predikat SM sebagai media komunitas. Karenanya, menjadi majalah umum memang tidak semata ingin disebut inklusif.

"Orang kadang bias tentang konsep eksklusif dan inklusif hanya secara verbal, semangat dan apa yang disajikan SM adalah dari Muhammadiyah untuk Bangsa, seperti amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat," kata Haedar.

Bertahan 103 tahun tentu prestasi luar biasa. Menurut Haedar, ramuannya sederhana seperti etos kerja Muhammadiyah yang tekun, gigih, mandiri, inovatif, profesional dan menegaskan asas good governance. Padahal, sampai saat ini SM belum diwajibkan.

Baik kepada kader-kader, anggota-anggota maupun kepada pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Dalam konteks bisnis, SM dikelola dan dikembangkan secara profesional, sehingga perkembangan oplah dan kemampuan bertahan memang karena kekuatan diri (inner-dynamic).

Tapi, paparnya, SM terus merekrut dan melatih sumber daya manusia yang diajari untuk berintegritas dan profesional. Gabungan etos kerja, sumber daya manusia, dan sistem kokoh itu yang jadi pembeda SM dengan media Islam lain yang mulai berguguran.

Maka itu, Haedar menekankan, SM tidak menjadi benalu dan instan seperti mungkin ada di tempat lain, yang tumbuh kembang karena katrolan, termasuk katrol politis. Tidak heran, apresiasi satu per satu datang dari berbagai elemen bangsa.

"Pada Hari Pers Nasional 2018, majalah ini memperoleh penghargaan sebagai Media Dakwah Islam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah SWT atas karunia-Nya," ujar Haedar.

Ia turut memberikan apresiasinya kepada seluruh insan pers nasional melalui Hari Pers Nasional yang memberikan penghargaan bersejarah tersebut. Sebagaimana spirit etos dan jiwa Muhammadiyah, sejak semula tidak pernah terpikirkan akan ada penghargaan seperti itu.

Pasalnya, lanjut Haedar, yang terpenting bagi SM memang berkiprah untuk bangsa tanpa pamrih. Karenanya, ia mengaku tidak menduga apalagi harus mengusahakan dan mengajukan diri agar memperoleh penghargaan.

Tapi, pemerintah dan masyarakat luas rupanya tahu apa yang dilakukan Muhammadiyah, hingga secara objektif memberikan penghargaan. Baginya, itu merupakan pengakuan tulus dan objektif, sekaligus jadi pemicu semangat bagi kemajuan umat dan bangsa.

Lebih lanjut Haedar melihat, penghargaan ini sekaligus penegasan atas kehadiran SM. Walau dikesankan sebagai majalah komunitas Muhammadiyah, tapi kiprah dan manfaat SM tentu untuk bangsa. "Tiada lain untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement