Jumat 19 Jan 2018 05:17 WIB

Bau Busuk Pilkada Langsung

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto:

Badan Pengawas Pemilu (di pusat maupun di daerah) selama ini juga tak mampu melakukan pengawasan efektif atas terjadinya transaksi berupa mahar politik ini. Padahal,  itu jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran dalam proses demokrasi. Mahar politik dengan nilai yang seakan tak bisa diukur standarnya itu adalah bentuk nyata dari anomali proses rekrutmen politik.

Incaran Bawaslu selama ini bukan ke masalah mahar politik. Kalaupun membidik pelaku politik uang, yang menjadi perhatian Bawaslu lebih banyak ke persoalan adanya serangan fajar dan serangan dhuha (pemberian uang pada calon pemilih) yang hendak menuju bilik-bilik tempat pemungutan suara, serta bagi-bagi sembako saat pelaksanaan kampanye.

Lantaran sangat sulit --dan mungkin tidak logis-- jika dihapuskan, maka perlu dibuat aturan yang tegas dan standar soal mahar politik tersebut. Komisi Pemillihan Umum (KPU) sangat perlu untuk membuat ketentuan tentang mahar politik. Misalnya, bisa saja dibuat aturan seragam, bahwa besarnya mahar politik disamaratakan antara satu partai dengan partai lain. Artinya, sang calon akan memberikan sejumlah uang yang sama jumlahnya pada setiap parpol untuk secara resmi mengusungnya sebagai kandidat partai itu. Tak ada bedanya besarnya mahar antara satu parpol denngan parpol lainnya.

Akan tetapi, penyamarataan nilai mahar ini tentu akan dirasakan tidak adil oleh partai besar yang memiliki suara  atau kursi DPRD/DPR lebih banyak. Untuk itu, akan lebih tepat dan adil jika nilai mahar ke partai politik ditentukan berdasarkan perolehan suara pada pemilu terakhir, misalnya per suara dikonversi dengan rupiah tertentu. Bisa juga per kursi DPR/DPRD dinilai setara dengan sekian rupiah.

Dengan begitu, maka mahar politik kita legalkan namun ada aturan tegas yang harus diikuti sehingga tak ada lagi aroma transaksional yang sering kali baunya  lebih busuk dari sekadar bagi-bagi uang untuk pemilih. Aturan soal mahar ini harus disertai sanksi yang mengikat kuat bagi pelanggarnya.

Bila perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diminta untuk bisa masuk dan mengawasi proses pemberian mahar tersebut, baik untuk pilkada maupun pilpres. KPK dan Bawaslu bisa melakukan kerja sama dalam hal ini demi efektivitas pelaksanaan pengawasan di lapangan. Jangan sampai kedua lembaga ini malah saling sikut dalam proses pengawasan yang terjadi.

Penertiban soal mahar politik ini mendesak dan sangat perlu untuk dilakukan. Hal itu karena substansi demokrasi akan hilang jika politik uang yang jadi panglima. Jika partai politik menolak adanya penertiban soal mahar politik, maka sejatinya tak ada lagi makna demokrasi dalam realitas politik.

Pemerintah dan KPU harus bisa menghilangkan transaksi liar dalam pemberian mahar politik. Bila memang partai politik secara serentak menolak diadakannya penertiban dan pembatasaan dalam pemberian mahar politik, maka pilihannya ada dua: kembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau pengangkatan langsung oleh presiden. Sebenarnya, bagi saya, pilkada atau pilpres secara langsung tetap akan lebih baik (jika tak ada ekses politik uang yang masif) dibandingkan pemillihan oleh DPRD/DPR/MPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement