REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diusungnya cucu presiden pertama RI, Soekarno, Puti Guntur Soekarno sebagai calon wakil gubernur pendamping Gus Ipul di pilkada Jawa Timur, Rabu (10/1) lalu menambah lagi daftar calon peserta pilkada serentak 2018 yang memiliki hubungan sanak dengan petahana atau elite partai politik. Hal serupa tidak hanya terjadi di Jawa Timur, melainkan juga terjadi di provinsi lain, diantaranya di Pilkada Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku Utara, dan Sulawesi Selatan.
Pasangan Dodi Riza Alex Nurdin dan M Giri Ramanda Nazaputra Kiemas diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), PKB, Partai Golkar untuk bertarung di pilkada Sumsel. Dodi Reza merupakan putra dari Gubernur Sumatera Selatan saat ini, Alex Noerdin, sedangkan pasangannya, Giri Ramanda Kiemas merupakan keponakan dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Bahkan secara khusus di hadapan kadernya, Megawati berpesan untuk menjaga keponakannya tersebut.
Sementara itu di Kalimantan Barat, PDIP, Demokrat, dan PKPI mengusung Karolin Margret Natasha dan Suryatman Gidot. Karolin adalah putri dari Gubernur Kalimantan Barat saat ini, Cornelis M.H. Kemudian di Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo yang mendaftar perseorangan, merupakan adik dari gubernur saat ini, Syahrul Yasin Limpo.
Sedangkan di Nusa Tenggara Barat (NTB), calon wakil gubernur NTB yang diusung oleh PKS dan Partai Demokrat, Sitti Rohmi Djalilah merupakan kakak dari gubernur saat ini, Muhammad Zainul Majdi. Sitti Rohmi akan mendampingi Zulkeflimansyah di pilkada NTB.
Lalu di Maluku Utara Gubernur pejawat, Abdul Ghani Kasuba yang berpasangan dengan Al Yasin Ali akan bersaing dengan Muhammad Kasuba yang merupakan mantan Bupati Halmahera Selatan berpasangan dengan A Madjid Husen. Kedua calon gubernur memiliki hubungan kakak-adik.
Sementara itu pengamat politik Exposit Strategic, Arief Susanto menjelaskan data yang ia peroleh. Pada Pilkada serentak 2018 kali ini, 12 calon dari 11 daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan pejawat atau figur politik berpengaruh. Delapan di antaranya masih menduduki jabatan hingga 2022.
"Sebagian dari mereka memiliki kapabilitas mumpuni. Sebagian lainnya lebih mengandalkan sumber daya dan pengaruh politik keluarga untuk dapat terpilih," kata Arief saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (12/1).
Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina tersebut menilai Karolin dan Dodi tidak memiliki kelayakan etis untuk mencalonkan diri, terutama karena masing-masing baru terpilih sebagai bupati di Landak dan Musi Banyuasin pada 2017. Sedangkan di wilayah Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, kekerabatan telah lama menjadi alat politik sehingga di kedua wilayah berkembang dinasti politik.
Arief melihat situasi ini tidak lepas dari ketimpangan sosial, di mana sumber-sumber ekonomi dan politik di wilayah tertentu memusat di tangan para oligarki. Hal ini menunjukkan buruknya rekrutmen dan pendidikan politik yang dilakukan partai-partai. Selain itu, lemahnya kontrol sosial terdampak rendahnya literasi politik dan senjangnya distribusi sumber daya di kalangan massa.
"Ketiga hal inilah yang mendesak diperbaiki jika kita menghendaki untuk meminimasi peluang terbangunnya dinasti politik," kata Arief.