Sabtu 16 Dec 2017 15:57 WIB

Kuasa Hukum Setnov Sebut KPK Terapkan Politik Belah Bambu

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Budi Raharjo
Maqdir Ismail
Foto: Republika/ Wihdan
Maqdir Ismail

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kuasa hukum Setya Novanto Maqdir Ismail menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum terhadap kliennya menggunakan prinsip politik belah bambu. Hal ini karena KPK dinilainya, terkesan pilah-pilah dalam menyeret dan mengusut nama-nama yang diduga terlibat perkara dugaan korupsi proyek KTP elektronik.

Menurut Maqdir, ada banyak nama yang disebut dalam dakwaan terdakwa kasus KTP-el sebelumnya Irman dan Sugiharto, namun seiring bantahan sejumlah pihak tersebut dan putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maka nama tersebut hilang dalam dakwaan terdakwa Andi Narogong.

Ia mengatakan hanya ada tersisa sejumlah nama, tidak termasuk kliennya Novanto. Namun justru Novanto yang langsung diusut KPK.

"Saya bukan bermaksud ini bentuk mau narik-narik orang. Saya juga ingin dalam proses penegakan hukum ini tidak dilakukan politik belah bambu, ada yang diinjak, ada yang nggak. Ini kan yang terasa," kata Maqdir dalam diskusi bertajuk 'Setnov Effect' di Kawasan Menteng, Jakarta pada Sabtu (16/12).

Maqdir mengungkap tidak mungkin Novanto seolah-olah bekerja sendiri dalam proyek KTP elektronik tersebut. Sebab sebagaimana mekanisme penganggaran di DPR, tidak mungkin Novanto saja yang menggagas sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR pada saat proyek tersebut.

Karenanya, Maqdir meyakini bukan hanya Novanto sebagai pihak yang menentukan proyek dan besaran anggaran tersebut. "Fraksi itu mungkin ke fraksi lain. Tapi apa dia sebagai pemutus sendiri. Nggak mungkin dia sendiri. Karena ini kan lewat di Banggar. kemudian juga lewat komisi, karena tidak mungkin dia sendiri yang bertemu dengan oknum Kemendagri," kata Maqdir.

Maqdir pun menyoal alasan hilangnya nama-nama di dakwaan oleh KPK sebagai bentuk strategi. Mnurut Maqdir, KPK tidak memiliki cukup bukti terhadap nama-nama yang disebutkan. Padahal dakwaan seharusnya dilakukan secara cermat dan hati-hati.

"Kalau hati-hati mestinya dari awal jangan disebut. Nah pengalaman saya cara mendakwa seperti ini, dirusak dulu martabatnya. Kalau memang betul orang-orang ini nggak terbukti karena mereka bantah. Harusnya mereka declare minta maaf bahwa tuduhan itu nggak benar. Bukan ingkar dengan menyebut itu strategi," kata Maqdir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement