Rabu 22 Nov 2017 17:12 WIB

Tiga Ketua Lembaga Negara Terlibat Korupsi, Refly: Ini Darurat Korupsi

Rep: Amri Amrullah/ Red: Budi Raharjo
Refly Harun
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Refly Harun

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kasus korupsi KTP elektronik yang menyeret nama Ketua DPR Setya Novanto melengkapi terlibatnya oknum pimpinan dan pejabat di lembaga tinggi negara dalam pratek korupsi. Sebelumnya pengadilan dan KPK telah membuktikan korupsi yang melibatkan seorang Ketua DPD RI, Ketua MK dan Hakim MK.

"Ini makin menunjukkan korupsi sudah sangat darurat masuk ke lembaga tinggi negara," kata Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, Rabu (22/11). Darurat korupsi ini di lembaga tinggi negara ini, menurutnya harus segera dihentikan.

Salah satu caranya Refly mengusulkan sudah saatnya presiden turun tangan secara langsung. Karena korupsi yang sudah masuk kategori darurat ini tidak bisa ditangani biasa-biasa saja. Turun langsungnya presiden Jokowi dalam hal memimpin dengan instruksi tegas dan jelas pemberantasan korupsi.

"Presiden Jokowi tidak perlu lagi sekedar formalistik, seolah tidak ingin mengintervensi penegakkan hukum. Presiden harus menggunakan segala sumber daya yang dimiliki untuk memastikan kesuksesan pemberantasan korupsi," papar Refly.

Dan yang tidak kalah penting, menurut Refly, presiden tidak perlu khawatir terhadap aliansi politik dalam upaya pemberantasan korupsi. Untuk kebaikan bangsa, pemberantasan korupsi, jangan lagi berpikir kelompok politik, apakah aliansi pemerintah atau bukan.

"Karena kalau presiden masih berpikir soal kelompok politik, karena mendukung pemerintahan atau tidak, justru pertimbangan ini menurutnya akan memperburuk pemberantasan korupsi," pungkasnya.

Selain Ketua DPR Setya Novanto, keterlibatan pejabat tinggi setingkat ketua lembaga tinggi negara juga telah terjadi. Diantaranya Dua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar dan Ketua DPD RI, Irman Gusman.

Akil Mochtar.

Ketua MK periode 2008-2013 ini divonis penjara seumur hidup, karena terjerat kasus penyuapan dalam sengketa pilkada. Pada Rabu, 2 Oktober 2013, Akil Mochtar ditangkap KPK di rumah dinasnya di Jakarta terkait dugaan menerima suap dalam penanganan gugatan pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Akil resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama dan lima orang lainnya.

Kelima orang tersebut salah satunya Chairun Nisa, anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, bupati Gunung Mas Hambit Bintih, seorang pengusaha bernama Tubagus Chaeri Wardana yang juga adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sekaligus suami dari Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. Pada 5 Oktober, Presiden SBY akhirnya resmi memberhentikan Akil Mochtar dari posisi Ketua MK.

Patrialis Akbar

Patrialis yang menjabat salah satu Hakim MK ini ditahan dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 25 Januari 2017. Patrialis terjerat kasus korupsi karena terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Patrialis menerima suap terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis divonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.

Irman Gusman

Ketua DPD RI Irman Gusman ditahan KPK ditangkap KPK di kediamannya pada Sabtu 17 September 2016. KPK menyebut penangkapan Irman Gusman ini terkait suap Rp 100 juta soal impor dan distribusi gula. Selain itu Irman juga dianggap menyalahgunakan wewenang karena menggunakan pengaruhnya atas keputusan instansi soal distribusi dan impor gula.

Kasus Irman juga melibatkan CV Semesta Berjaya di Sumatera Barat dan dua tersangka lain, yaitu Xaveriandy Sutanto dan Memi. Xaveriandy dan Memi adalah suami-istri. Xaveriandy menjabat sebagai Direktur Utama CV Semesta Berjaya. Irman divonis 4,5 tahun penjara membayar denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.

Amri Amrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement