Rabu 22 Nov 2017 05:50 WIB

Tuduhan Korupsi Sumitro Djojohadikusumo Propaganda Golongan Komunis

Sumitro Djojohadikusumo
Foto: ILUNI FE UI
Sumitro Djojohadikusumo

Oleh: Fadli Zon

Kasus “hilangnya” Ketua DPR Setya Novanto pada Rabu malam (15/11/2017) lalu secara gegabah telah dimanfaatkan dua orang penulis untuk mengarang artikel yang penuh insinuasi terhadap diri Sumitro Djojohadikusumo. Dua penulis itu adalah Hendri F. Isnaeni, yang menulis artikel “Dugaan Korupsi Menteri Sumitro” di situs Historiaid; serta Petrik Matanasi, reporter media daring Tirtoid, yang menulis artikel “Sumitro Djojohadikusumo Pernah ‘Menghilang’ karena Dituduh Korupsi”. Dua artikel itu terbit secara bersamaan pada Jumat, 17 November 2017.

Framing dua artikel itu kurang lebih sama: hilangnya tersangka kasus korupsi bukan baru kali pertama terjadi, tapi telah terjadi sejak lama, di mana Sumitro Djojohadikusumo adalah salah satunya. Dua artikel itu bagi saya sama sekali tak memuat perbandingan yang tepat, sehingga bersifat sangat tendensius. Ini adalah reproduksi propaganda PKI akhir tahun 1950-an yang disebarkan secara gegabah karena Sumitro sebagai tokoh PSI dianggap antikomunis. Secara kebetulan, Sumitro juga dekat dengan tokoh-tokoh Partai Masyumi yang juga anti-PKI.

Artikel tendensius tadi sepertinya sengaja diproduksi untuk mendegradasi rekam jejak Sumitro yang juga merupakan ayah Prabowo Subianto, tokoh yang kini menjadi harapan rakyat Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2019.

Ada dua alasan mengapa artikel-artikel itu bermasalah dan ngawur.

Pertama, menyandingkan hilangnya SN yang berstatus sebagai tersangka dengan menghilangnya Sumitro yang tak pernah mendapat status hukum apapun, kecuali label buruk--yang itupun hanya diproduksi oleh golongan komunis, jelas tak sepadan. Itu sama sekali bukanlah pembandingan.

Satu-satunya persamaan yang dijadikan benang merah oleh tulisan di Tirto, misalnya, hanyalah kondisi sama-sama “menghilang”. Ini sebuah pembandingan yang bodoh, cacat secara metodik, dan tendensius. Apalagi, dalam artikel di Tirto secara jelas ditulis, “Ayahanda Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo, juga pernah kena tuduhan terlibat korupsi.”

Jika ingin menulis feature sejarah, kenapa tak membandingkan hilangnya tersangka korupsi hari ini dengan hilangnya Eddy Tansil di masa lalu, misalnya?! Atau, penulis bisa juga membandingkannya dengan hilang dan buronnya sejumlah tersangka dan terpidana kasus Skandal BLBI. Itu pembandingan yang lebih masuk akal.

Kedua, dua artikel tadi sama-sama mengulang tuduhan dalam bentuk “dugaan korupsi yang dilakukan Sumitro”. Masalahnya adalah tuduhan berupa “dugaan” itu terjadi pada dekade 1950-an, tepatnya pada tahun 1957. Sesudah bertahun-tahun lewat, di mana hingga hari ini jaraknya kurang lebih telah enam puluh tahun, semua tuduhan tadi sebenarnya telah selesai dijawab oleh banyak catatan sejarah.

Tetapi, dua artikel di Tirto dan Historia tadi, secara jahat telah memenggal konteks dan narasi sejarahnya hanya berhenti di fase awal munculnya tuduhan terhadap Sumitro tersebut, sembari mengabaikan bagaimana duduk perkaranya secara lengkap, baik seturut fakta yang berkembang pada saat kejadian itu sendiri berlangsung, maupun dari fakta-fakta yang baru terbuka pada masa sesudahnya.

Sebagaimana bisa kita baca dari berbagai buku sejarah, tuduhan bahwa Sumitro melakukan tindak korupsi sebenarnya hanya berasal dari tuduhan yang dilontarkan oleh koran-koran komunis, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur. Ini dua koran propaganda PKI yang sadis. Dan dugaan itu tak pernah terbukti. Kesaksian mengenai hal itu bisa kita baca dari banyak buku. Biografi Sumitro Djojohadikusumo sendiri, “Jejak Perlawanan Pejuang” (2000), yang juga dikutip oleh dua artikel di Tirto dan Historia, sudah merangkumkan berbagai kesaksian tersebut.

Baca juga misalnya buku “Lari, Sebuah Catatan Perjuangan, Pelarian dan Keimanan: Dari Permesta—Orde Baru Soeharto” 2011), yang ditulis Jopie Lasut, salah satu gerilyawan Permesta. Dalam bukunya Jopie menulis sebuah kesaksian penting. Pada awal 1957 (yang dimaksud sepertinya Mei 1957—FZ), demikian tulis Jopie, Priyatna Abdurrasyid—yang kemudian pernah menjadi Jaksa Agung—mendatangi rumah Sumitro di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran. Dia waktu itu ditugaskan untuk menangkap Sumitro. Namun, tulis Jopie, penangkapan itu tak pernah dilakukan oleh Priyatna.

Priyatna sendiri saat itu sudah dikenal sebagai jaksa dengan reputasi terhormat dalam pemberantasan korupsi. Ia telah mengibarkan namanya dalam gerakan pemberantasan korupsi sejak masih bertugas di Kejaksaan Tinggi Bandung. Saat menyambangi Sumitro, Priyatna datang sebagai aparat PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), sebuah lembaga antikorupsi yang didirikan pada 1957 dan dipimpin oleh A.H. Nasution.

Secara terus terang Priyatna menyampaikan jika dia datang sebenarnya hanya karena disuruh oleh atasannya saja. Namun, sebagaimana yang telah diperoleh oleh para pemeriksa CPM, Sumitro memang bersih, sehingga tak ada alasan untuk menangkap atau menahannya. Pada saat itulah Priyatna kemudian menyarankan agar Bung Cum, demikian panggilan Sumitro kala itu, untuk menghilang. Menurut Abdul Muis Chandra, mantan anggota Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), diceritakan jika Priyatna sendirilah, dengan ditemani Batara Simatupang, yang kemudian akhirnya mengantarkan Sumitro ke Merak, Banten.

Sebagaimana yang kemudian dicatat oleh berbagai buku, dari Merak Sumitro kemudian naik perahu motor ke Lampung, lalu naik kereta api ke Palembang, dan perjalanannya kemudian berakhir di Padang, yang saat itu menjadi pusat gerakan PRRI. Jadi, Priyatna membiarkan Sumitro pergi karena yakin tokoh Partai Sosialis Indonesia itu tak bersalah. Dan bukan hanya membiarkannya pergi, ia bahkan disebut ikut mengantarkannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement