Rabu 22 Nov 2017 05:50 WIB

Tuduhan Korupsi Sumitro Djojohadikusumo Propaganda Golongan Komunis

Sumitro Djojohadikusumo
Foto:
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) berfoto bersama keluarga dari Sumitro Djojohadikusumo, Dekan FEB UI Ari Kuncoro (keempat kanan), pengamat ekonomi Dorojatun Kuntjoro Jakti (kedua kanan) dan Faisal Basri (kanan) usai menjadi pembicara kunci pada bedah buku Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9).

Dua tulisan di Tirto dan Historia tadi, secara umum saya nilai memang bersifat tendensius, karena mengabaikan konstruksi peristiwa secara lengkap dan tak memiliki itikad untuk menguji asumsi-asumsi yang dibangunnya.

Tulisan Hendri F. Isnaeni di Historiaid secara jelas bahkan bisa dianggap sengaja mengaburkan fakta. Ia menulis bahwa Sumitro tidak pernah memenuhi panggilan CPM (Corps Polisi Militer) hingga tiga kali, di mana pada pemanggilan ketiga ia kemudian bukan hanya mangkir, tapi bahkan melarikan diri. Tulisan ini bertendensi fitnah dan cenderung bersifat disinformatif.

Sebab, jika Hendri memang benar-benar membaca buku biografi Sumitro Djojohadikusumo, “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang” (2000), sebagaimana yang dikutip dalam artikelnya itu, bagian yang dikutip Hendri, yaitu saat Sumitro berpamitan kepada Sjahrir (hal. 209), hanya berselang dua halaman saja dari cerita bahwa Sumitro pertama kali menghadiri panggilan CPM Bandung pada 23 Maret 1957. Panggilan kedua terjadi saat Sumitro baru kembali dari Tokyo. Ia diperiksa pada 6-7 Mei 1957. Dari dua pemeriksaan itu, karena para pemeriksa menemukan tak ada dasar dan alasan untuk menahan, iapun diizinkan kembali ke rumah. Jadi, tidak benar jika ditulis bahwa Sumitro selalu mangkir dari panggilan.

Cerita tentang dua panggilan itu tertulis di halaman 207 dan 208 buku biografi Sumitro yang dirujuk Hendri. Tapi secara gegabah (atau sengaja?), ia menulis bahwa Sumitro telah mangkir dari seluruh pemeriksaan. Bagian ini, bagi saya, menunjukkan unsur insinuatif dari tulisannya. Apalagi, hampir semua sumber yang dirujuk, baik oleh artikel Tirto maupun Historia, sebenarnya adalah sumber-sumber yang telah dirangkum oleh buku biografi Sumitro sendiri. Mereka sebagian besar hanya menyalinnya. Sayangnya, penulis dua artikel itu hanya memilih narasi yang berkaitan dengan tuduhan insinuatif tulisannya saja, dan mengabaikan sanggahan serta fakta lain yang sebenarnya telah mementahkan tuduhan tak berdasar tersebut.

Tulisan yang dimuat Tirto juga miskin referensi terkait peristiwa yang diceritakan dan hanya mengandalkan asumsi saja. Misalnya, Tirto menulis, “Sumitro adalah tokoh PRRI yang tampaknya jauh dari desingan peluru. Dia turut melibatkan diri dalam PRRI dari pengasingannya di luar negeri.”

Dalam biografi Ventje Sumual, Memoar (2011), tokoh utama Permesta tersebut menulis bahwa sesudah PRRI di Sumatera berhasil dilumpuhkan, pada 1958 PRRI Sulawesi juga harus masuk ke tahap gerilya di hutan-hutan. Sumual kemudian meminta Sumitro untuk meninggalkan tentara yang sedang gerilya. Namun Sumitro, tulis Sumual, berkeras menolak permintaan itu. Ia ingin tetap berjuang di hutan-hutan, meskipun posisi mereka sudah kian terdesak.

Untuk membujuk Sumitro, Sumual menyampaikan bahwa sayang sekali jika nantinya seorang intelektual seperti Sumitro harus mati di hutan. Ia terus meminta agar Sumitro mengasingkan diri ke luar negeri, sebab dengan berada di luar negeri Sumitro dianggap akan lebih bisa membantu perjuangan PRRI/Permesta. Sesudah dibujuk berkali-kali, Sumitro akhirnya luluh. Dengan diantar Sumual, dari Tasuka, sebuah daerah di tepi danau Tondano, Sumitro kemudian menyingkir dengan pesawat Catalina (hal. 503). Cerita dan kesaksian Sumual itu dengan jelas menunjukkan bahwa Sumitro bukanlah seorang pengecut.

Sumitro meninggalkan Jawa untuk berjuang menuntut keadilan hubungan pusat-daerah sekaligus menegur Presiden Soekarno yang terlalu dekat pada PKI. Saat menjadi menteri, baik pada masa Soekarno maupun Orde Baru, ia tak pernah memperkaya diri maupun keluarganya. Ia bahkan melarang keras anak-anaknya untuk berbisnis saat dirinya masih menjadi pejabat pemerintah.  

Baik di kalangan kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya, Sumitro dianggap sebagai orang yang konsisten dengan prinsipnya. Itu sebabnya, menyamakan “hilangnya” Sumitro dalam gerakan PRRI dengan menghilangnya para tersangka korupsi adalah sebuah penghinaan. Ini sekali lagi merupakan reproduksi propaganda PKI di jaman now oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Sumitro adalah seorang yang kokoh anti-komunis (anti -PKI) dan dekat tokoh-tokoh Partai Masyumi--partai Islam terbesar waktu itu--yang berhaluan sama, yaitu Mohammad Natsir, Mr. Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, dan lain-lain. Atas hasutan PKI, kedua partai ini dibubarkan oleh Soekarno secara sepihak tahun 1960 dan para tokohnya dipenjarakan dengan tuduhan makar tanpa bukti dan tanpa proses hukum.

*Sejarawan, Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement