Jumat 17 Nov 2017 11:08 WIB

DPR Tetap Pertahankan Setnov Meski Sempat Raib

Rep: Fauziah Mursid, Umar Mukhtar/ Red: Elba Damhuri
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah pihak menyerukan agar Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) mundur dari jabatannya sehubungan keterlibatannya dalam kasus megakorupsi KTP-el dan tindakannya menghindari proses hukum. Meski begitu, pihak DPR tetap berkeras mempertahankan yang bersangkutan meski sempat raib beberapa waktu lalu.

Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Adies Kadir mengungkapkan, ada perdebatan dinamis dalam rapat internal MKD pada Kamis (16/11). Perdebatan antaranggota MKD dari sejumlah fraksi tersebut terjadi saat rapat membahas peristiwa hukum Setya Novanto.

"Ada kawan dari fraksi lain yang memunculkan masalah Novanto. Memang dari pukul 13.00 sampai 15.00 (WIB) kami adakan rapat, terjadi perdebatan dinamis dan paling lama pembahasannya terkait Ketua DPR," ujar Adies Kadir di depan ruangan MKD, Kompleks Parlemen Senayan, kemarin.

Namun, menurut dia, MKD sepakat melihat kasus hukum tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Karenanya, sesuai UU MD3, kasus hukum Novanto masih ditangani penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maka, MKD akan menunggu penanganan kasus tersebut ke KPK.

"Kami menunggu aparat penegak hukum tersebut dan apa hasil dari aparat itulah yang kami tindak lanjuti. Selama dijelaskan statusnya masih tersangka, kami tidak dapat proses hukum tersebut," ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar tersebut.

Adies melanjutkan, proses etik pada anggota DPR sesuai dengan undang-undang bisa berjalan apabila status hukum anggota tersebut sudah jelas. Saat ini, yang terjadi pada Novanto, kata Adies, masih dalam proses di KPK.

Terlebih, menurut wakil sekjen Partai Golkar tersebut, Novanto diketahui telah mengajukan kembali gugatan praperadilan. "Jadi, ini semakin banyak aparat yamg menangani perkara beliau. Jadi, agar tak tumpang tindih dengan etika maka kami menunggu. Apabila sdh terdakwa baru MKD bisa memulai," kata Adies.

MKD langsung menggelar rapat internal membahas persoalan hukum yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Hal ini menyusul penjemputan paksa penyidik KPK kepada Novanto di kediamannya pada Rabu (15/11) malam yang gagal karena Novanto tidak diketahui keberadaannya.

Menurut dia, rapat internal MKD merupakan rapat biasa pada awal masa sidang dan bukan khusus membahas persoalan Novanto. Sebab, Adies menegaskan, persoalan hukum Novanto tidak ada kaitannya langsung dengan MKD. Karena itu, ia juga tidak mau langsung menilai apakah tindakan tidak kooperatif Novanto masuk pelanggaran etika sebagai anggota DPR atau tidak.

Di lain pihak, pakar hukum tata negara Mahfud MD menyatakan, DPR semestinya menonaktifkan Setya Novanto dari kursinya sebagai ketua DPR RI. Sebab, Novanto telah melakukan pelanggaran hukum, sehingga perlu ada sikap dari DPR secara kelembagaan.

"Kalau itu sudah berkaitan dengan hukum dan darurat, maka DPR segera menentukan sikap secara institusi untuk menonaktifkan Setya Novanto sampai waktu yang tidak ditentukan," kata dia di Jakarta, Kamis (16/11).

Menurut Mahfud, apa yang dilakukan oleh Setnov tidak hanya terkait pelanggaran etik tapi juga pelanggaran hukum. Karena itu, yang harus mengeluarkan sikap tidak hanya dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), tapi juga DPR secara kelembagaan.

Ia menilai, MKD tetap bisa mengeluarkan sikap terhadap Setnov dengan melakukan rapat terlebih dulu lalu menerbitkan rekomendasi atas perbuatan ketua umum Golkar itu. Sebab, pada intinya, DPR harus melakukan sesuatu agar jangan sampai kursi ketua DPR itu kosong.

“Jangan main-main. Karena DPR termasuk di antara tujuh lembaga negara yang utama," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Terkait kasus hukum yang menimpa Novanto, pimpinan DPR juga menyatakan akan menjaga soliditas sampai kisruh berakhir. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, status tersangka dan penahanan Novanto tidak akan menganggu kinerja dan soliditas pimpinan.

Ia menegaskan, status tersangka dan penahanan tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun terhadap status dan jabatan seorang pimpinan DPR. Pemberhentian sementara terkait status terdakwa seorang pimpinan akan dilakukan dengan verifikasi yang sangat ketat oleh MKD.

MKD melakukan kajian mendalam atas status hukum terdakwa, kemudian setelah verifikasi berhak memutuskan untuk dilakukan pemberhentian sementara dan atau tidak. Dalam hal MKD berkeputusan untuk dilakukan pemberhentian sementara maka keputusan tersebut harus dilaporkan ke paripurna untuk mendapatkan penetapan melalui mekanisme pengambilan keputusan.

"Demikian agar menjadi perhatian bagi publik bahwa tidak ada perubahan konstelasi di dalam DPR RI terkait perkembangan terkini atas status hukum saudara Setya Novanto. Pimpinan DPR RI akan tetap kompak bekerja secara kolektif dan kolegial," kata Fahri dalam keterangan kemarin. (Santi Sophia).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement