Rabu 15 Nov 2017 07:37 WIB

Perlunya Jokowi Turun Tangan

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Arif Supriyono, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Namanya lembaga pemberantasan korupsi, tentu banyak pihak yang tidak menyukai. Mereka yang merasa akan menjadi sasaran operasi oleh lembaga antirasuah itulah yang mungkin tak menghendaki keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK dibentuk tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat awal berdiri, nyaris semua pihak memberikan dukungan. Kehadiran lembaga ini diharapkan mampu membuat negara ini kian bersih dari lumpur korupsi yang begitu dekil dan hampir menjamah seluruh sendi kehidupan bernegara, walau tak mungkin bisa hilang sama sekali.

Jerat korupsi itu begitu kuat melekat pada rantai birokrasi kita. Bila sekitar tahun 90-an, begawan ekonomi Indonesia, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, memperkirakan ada sekitar 30 persen anggaran negara yang menguap karena korupsi. Angka itu justru kian membesar pada dekade belakangan ini.

Optimisme dan sambutan hangat atas kehadiran KPK tak berlangsung lama. Tujuh tahun setelah lemabaga baru itu berkiprah, tantangan berat telah mengadang. Ini bermula dari upaya KPK mengungkap kasus korupsi proyek sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan tahun 2006-2007. Dalam kasus ini berembus kabar, bahwa tersangka (Anggoro Widjojo) berupaya meminta bantuan oknum polisi agar dia bisa lolos.

Lalu berkembanglah informasi adanya usaha penyadapan telepon seluler Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno pun marah. Ia menganggap KPK bodoh dan mengumpamakan hal ini sebagai perseteruan anatara cicak (KPK) dan buaya (Polri). Kasus ini pun kian meluas karena belakangan Susno pun mengaku sempat bertemu tersangka korupsi Anggoro Widjojo di Singapura.

Tak berapa lama, dua petinggi KPK (Bibit Samad Rianto yang mantan perwira tinggi polisi dan Chandra M Hamzah) dijadikan tersangka oleh kepolisian. Tuduhannya adalah menerima suap dalam kasus SKRT. Agar tak berlarut-larut kasus tersebut, pemerintah membentuk Tim 8 yang dipimpin Adnan Buyung Nasution untuk memberi masukan ke presiden.

Meski tak bisa segera membuat keputusan karena mengaku senngaja menahan diri untuk tidak segera bersikap, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya minta agar kasus ini diselesaikan dengan cara di luar pengadilan. Cara ini dianggap tidak akan saling mempermalukan antara kedua institusi penegak hukum tersebut.

Pandangan SBY itu membuat Kejaksaan Agung dan Polri tidak akan melanjutkan kasus yang disangkakan pada Bibit-Chandra. Arahan dari SBY ini sangat ditunggu-tunggu banyak pihak. Mereka beranggapan, jika kedua pimpinan KPK itu terseret hingga pengadilan dan mendapat vonis, maka akan tamatlah perjalanan KPK untuk melibas para koruptor. Masyarakat saat itu pun menilai, tuduhan pada kedua petinggi KPK itu juga tak memiliki dasar kuat.

Tanpa campur tangan presiden, hampir pasti perseteruan itu akan berujung di pengadilan. Bahkan bukan tidak mungkin akan terjadi saling menyandera antara KPK dengan Polri. Ujungnya, pemberantasan korupsi akan kian jauh dari sasaran dan target.

Ujian terhadap KPK tak juga berhenti. Meski pernah mendapat sandungan kasus cicak-buaya, KPK tetap saja tak surut. Selain anggota DPR, gubernur dan menteri pun menjadi tak luput dari incaran KPK. Sampailah kemudian KPK menjerat Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus simulator SIM. Dalam kasus ini negara dirugikan hingga Rp121 miliar.

Tak lama berselang, Jokowi mengajukan nama Komjen Budi Gunawan (BG) ke DPR sebagai calon kapolri. KPK yang memiliki data rekam jejak BG ikut menyayangkan pengajuan mantan ajudan Megawati ini sebagai calon kapolri. KPK bahkan menetapkan BG sebagai tersangka kasus korupsi, termasuk transaksi Rp 57 miliar di rekening anak BG yang saat itu berusia 19 tahun. Inilah yang kemudian memunculkan serangan balik atas KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement