Rabu 15 Nov 2017 07:37 WIB

Perlunya Jokowi Turun Tangan

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto:

Serangan bertubi-tubi datang lagi ke KPK. Selain upaya yang ditempuh DPR untuk melakukan perubahan atau revisi (termasuk hak angket) atas UU KPK (KPTPK) yang mengatur kewenangan KPK, pimpinan KPK juga kembali menjadi sasaran tuduhan. Ketua KPK Abraham Samad diperkarakan dengan dalih sangat ecek-ecek, yakni memberikan alamat palsu terhadap salah satu saksi dalam perkara yang ditangani ketika belum menjadi pimpina KPK. Adapun Bambang Widjojanto (wakil ketua KPK) dituding merekayasa pernyataan saksi di Mahkamah Konstitusi dalam kasus pilkada di Kota Waringin Barat.

Anehnya, kasus itu terjadi pada 2010 (telah lima tahun berlalu). Pelapornya pun penah menjadi terpidana illegal logging (pembalakan liar) dan kasus pembunuhan. Malahan, kini pelapor atas bambang Widjojanto telah menjabat sebagai gubernur Kalimantan Tengah (Yusuf Sugianto Sabran). Sang saksi sebenarnya tidak memberikan keterangan palsu atau rekayasa. Dia hanya menyebut saat pengarahan sebelum memberikan keterangan persidangan itu tidak ada nama Bambanng Widjojanto. Ia mengutarakan itu karena memang tidak tahu dan tidak kenal pria bernama Bambang Widjojanto.

Apa lacur, polisi kali ini sigap bersikap. Dua petinggi KPK tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Unjuk rasa dan desakan masyarakat agar Presiden Joko Widodo ikut menengahi kasus ini, tak juga dihiraukan. Jokowi memang sempat membentuk Tim 9 yang diketuai oleh Syafii Maarif. Namun rekomendasi Tim 9 tidak juga membuat Jokowi bersikap.

Akhirnya, kedua petinggi KPK itu pun ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian, tanpa ada sikap dari presiden. Lantaran status tersangka itu, keduanya harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pimpinan KPK. Ini sesuai dengan ketentuan UU KPK tersebut. Walau begitu, kasus ini tak berlanjut juga. Seolah peristiwa itu hanya semata ditujukan untuk menggusur Abraham dan Bambang dari kursi KPK. Sedihnya, Jokowi seperti tak berdaya menghadapi gempuran dari polisi.

Goncangan terhadap KPK belum juga reda. Meski upaya DPR untuk menggunakan hak angket atas keberadaan KPK tak berjalan mulus, serangan bertubi-tubi datang lagi ke KPK. Mulai dari penyidik andalan KPK (Novel Baswedan) yang disiram air keras dan hingga lebih enam bulan belum juga terungkap pelakunya. Lalu upaya menjadikan Novel sebagai tersangka justru oleh Direktur brigne Aris Budiman hingga pelaporan pimpinan KPK (Agus Rahardjo dan Saut Situmorang) oleh pengacara tersangka (untuk kedua kali) korupsi KTP-el Setya Novanto yang juga ketua DPR.

Kedua pimpinan KPK itu dituding memalsukan surat perpanjangan penahanan terhadap Setya Novanto. Polisi pun agaknya sudah berancang-ancang untuk mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atas laporan Novanto. Bukan tidak mungkin Agus dan Saut segera diperiksa dan menjadi tersangka pula.

Jika nanti Agus dan Saut menjadi tersangka, otomatis mereka harus lengser dari kursi pimpinan KPK. Nasib KPK selanjutnya bisa kian tak menentu. Padahal sekarang pun masyarakat banyak yang menilai KPK tak lagi bergigi seperti dulu. Sudah kinerjanya cenderung menurun, kini malah dikriminalisasi pula. Kalau ini terjadi, berakhir sudah perjalanan KPK sebagai barikade terdepan untuk memberantas korupsi.

Uluran tangan dari Jokowi agaknya amat diperlukan. Presiden tak bisa menganggap ini merupakan kasus biasa saja. Pelaporan dan pemeriksaan terhadap pimpinan KPK harus juga dipandang sebagai upaya untuk menggembosi KPK di tengah kondisi korupsi yang masih begitu masif terjadi di negeri ini. Komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi harus kembali dikukuhkan.

Saya kira tidak cukup Jokowi hanya mengatakan, apabila tidak cukup bukti maka kasus itu tidak perlu dilanjutkan atau dihentikan. Ini pernyataan yang amat standar dan siapa pun rasanya tahu, bahwa proses hukum memang seperti itu. Selayaknya bila Jokowi bersikap dan memihak kebenaran. Masyarakat luas juga tahu siapa Setya Novanto dan aneka kasus yang pernah membelitnya selama ini. Kita masih ingat kasus cessie Bank Bali, papa minta saham Freeport, dan sebagainya. 

Bila presiden membiarkan saja kasus ini berjalan, masyarakat akan menilai Jokowi cenderung melindungi Setya Novanto. Sebelumnya, masyarakat juga menilai terpilihnya Novanto sebagai ketua umum Golkar juga lantaran ada dukungan dari orang-orang dekat presiden kepada dia. Kita tunggu sikap dan komitmen Jokowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement