REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Perhimpunan Pemilik dan Pengemudi Angkot Bandar Lampung (P3ABL) menolak pembatasan tahun operasi kendaraan angkot yang tertuang dalam peraturan aerah (Perda) yang telah ditetapkan DPRD Bandar Lampung, Senin (13/11). Pembahasan perda tersebut dinilai tidak melibatkan P3ABL dan sopir angkot setempat.
Ketua P3ABL Daud Rusdi mengatakan, bila perda tersebut diterapkan maka akan terjadi pengangguran besar-besaran para sopir angkot yang tidak bisa beroperasi karena tahun kendaraannya kedaluarsa. "Pembahasan perda tersebut tidak melibatkan kami pemilik dan sopir angkot," kata Daud Rusdi, Selasa (14/11).
Menurut dia, pembatasan tahun operasi kendaraan angkot jelas sangat merugikan pemilik dan apalagi sopir angkot. Menurut data P3ABL, terdapat sekitar 900 unit angkot dari 1.200 yang beroperasi sekarang tahun pembuatan mobilnya berkisar tahun 2002 hingga tahun 2006. Dampaknya, dengan perda tersebut, 900 angkot terpaksa dikandangkan.
DPRD Kota Bandar Lampung telah menetapkan Perda yang salah satunya membatasi peredaran kendaraan angkot yang telah melewati usia tahun pembuatan untuk angkutan umum nonbus selama 12 tahun. Sedangkan angkutan umum bus 15 tahun. Hal tersebut dihitung berdasarkan tahun pembuatan kendaraan angkutan umum yang tertera pada STNK.
P3ABL akan mengadukan Perda tersebut ke Pemkot Bandar Lampung dan Pemprov Lampung. Menurut P3ABL, penerapan Perda tersebut membuat banyak para sopir kehilangan pekerjaan karena mobil angkotnya dilarang beroperasi. Padahal, ratusan sopir tersebut memiliki keluarga dan harus menyekolahkan anak-anaknya.
Gani, sopir angkot trayek Tanjungkarang Kemiling menyatakan, Perda itu bertujuan baik namun harus tetap dibahas bersama para sopir yang mengalami langsung di lapangan. "Jangan sampai peraturan dibuat justru menindas rakyat kecil, sedangkan angkutan umum yang besar justru dilindungi," ujarnya.
Ia berharap pemerintah lebih bijak ketika memutuskan untuk menghentikan mobil angkot beroperasi dengan memikirkan dampak yang terjadi jika hal tersebut diterapkan. Seharusnya, ujar dia, Perda itu melibatkan organisasi angkot termasuk sopirnya, agar penentu kebijakan dapat mengetahuinya. "Jangan hanya sepihak memutuskan," katanya.