Sabtu 04 Nov 2017 10:08 WIB

Dilema Prostitusi

Prostitusi online.    (ilustrasi)
Foto:

Lalu muncul pertanyaan lain, yakni bagaimana jika tidak dibuatkan lokalisasi? Pertanyaan yang pada dasarnya sederhana, tapi masih menjadi perdebatan hingga kini. Menurut hemat penulis, permasalahan prostitusi pada dasarnya adalah isu kemanusiaan dan hak asasi manusia yang harus dilihat berdasarkan karakteristik bangsa, negara, hingga budayanya.

Jika melihat praktik prostitusi di negara-negara lain yang melegalkan prostitusi, seperti Selandia Baru, Jepang, Belanda, Israel, dan negara-negara lainnya, terlihat jika negara-negara tersebut adalah negara yang berpemahaman liberal. Sementara di Indonesia justru antitesisnya. Lalu dapatkah disamakan antara Indonesia dan negara-negara tersebut untuk membiarkan lokalisasi? Tentu tidak bisa. Hal tersebut bukan dari budaya yang ada di Indonesia. Terlebih, sejarah prostitusi itu sendiri diawali dan dipengaruhi oleh penjajahan di zaman kelam.

Jika “pekerja seks” dipandang sebagai sebuah profesi tentu harus memiliki standardisasi yang ideal serta legalitas yang kuat layaknya pekerja yang memiliki skill. Jika seks dipandang sebagai sebuah skill dan harus mendapatkan imbalan dari pemanfaatannya maka di mana letak aspek kemanusiaan dan hak asasi manusianya? Apakah badan sudah dipandang sebagai sebuah daging ayam yang menjadi komoditas? Tentu jawabannya tidak demikian, Indonesia adalah negara beradab yang tertuang dalam dasar negara pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Mengelompokkan mereka ke dalam sebuah wadah khusus yang bernama lokalisasi agar tidak menyebar pun menjadi sebuah dilema bagi pemerintah sendiri dan pekerja di dalamnya. Tentu pemerintah akan dihadapkan pada isu perut dengan alasan HAM dan isu rasial. Bagaimana jadinya jika pekerja seks mendapatkan stigma sebagai “profesi pekerja seks” dari masyarakat sekitarnya? Apakah mereka dapat menerima dengan parasaan bangga? Tentu tidak, karena hal tersebut apa pun alasannya adalah sesuatu yang tidak bermoral dan bukan merupakan budaya bangsa.

Bukan berhenti sampai di situ, ada sebuah premis lain yang cukup menggelitik yang mengatakan jika praktik lokalisasi akan memberikan multiplier effect yang baik bagi perekonomian melalui penerimaan dari pajak. Hal ini tentu akan mendapatkan reaksi yang beragam jika memang hal tersebut benar-benar terjadi karena pajak adalah instrumen dalam pembangunan.

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah penerimaan tersebut sudah ideal? Masyarakat harus memandang ini dengan pikiran jernih. Masyarakat harus melihat ini dari dua sisi, yakni dari aspek rasionalitas dan spiritualitas. Apakah membisniskan seks adalah sesuatu yang rasional untuk dikerjakan? Dan apakah membisniskan seks sebuah anjuran dalam ajaran beragama?

Kesimpulannya ialah, menurut hemat penulis tata kelola prostitusi Indonesia, khususnya di Jakarta, pada dasarnya sudah ideal. Justru tata kelola tersebut seharusnya mendapatkan apresiasi dalam konteks perlindungan masyarakat di dalam HAM, peraturan perundang-undangan terhadap permasalah tersebut harus diperkuat.

Adapun masalah lainnya seperti dampak dari kebijakan pemerintah tentu harus segera dipikirkan, bagaimana mengedukasi masyarakat menjadi masyarakat yang beradab dan bermoral tentu menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat itu sendiri. Tugas pemerintah adalah mewujudkan kehidupan yang layak dan seimbang bagi masyarakatnya.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement