REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menuturkan pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus didahului dengan melakukan kajian terhadap keberhasilan institusi penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Abdullah mengumpamakan pemberantasan korupsi dengan penyakit yang harus didiagnosis terlebih dulu oleh dokter. Setelah didiagnosa, tentu barulah dapat diketahui di mana sumber penyakitnya dan obat atau terapi apa yang tepat untuk diberikan.
"Dengan terapi yang tepat, pasien punya kesempatan besar untuk sembuh, sedangkan terapi yang keliru, pasien nanti bukan hanya tidak sembuh melainkan maut pun akan mendekatinya. Begitulah analoginya dengan pembentukan Densus Tipikor," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (24/10).
Karena itu, Abdullah pun mempertanyakan soal apakah pembentukan Densus Tipikor tersebut sudah didahului proses pengkajian yang tepat terhadap institusi penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan KPK. "Apakah diagnosis ini menyebutkan KPK tidak berhasil, kurang berhasil, atau belum berhasil?," kata dia.
Kalau KPK kemudian dianggap gagal, maka tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada KPK karena di dalamnya juga diisi oleh orang-orang yang berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan.
"Katakanlah KPK gagal. Tapi bukankah penyelidik, penyidik, dan JPU berasal dari kepolisian dan kejaksaan? Berarti kepolisian dan kejaksaan yang kurang berhasil. Lalu bagaimana kepolisian yang gagal itu bisa membentuk Densus Tipikor?" ucapnya.
Menurut Abdullah, semestinya pihak kepolisian menyelesaikan terlebih dulu persoalan internalnya. Barulah kemudian melakukan langkah pembenahan pada persoalan di luar. "Bukankah sepatutnya kepolisian menyelesaikan dulu persoalan internalnya baru bertindak keluar," tuturnya.