Senin 23 Oct 2017 09:36 WIB

Dokumen AS 1965, Pengamat: Lihat Konteks Sospol Kala Itu

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ani Nursalikah
Anggota Pemuda Rakyat, sayap organisasi pemuda PKI, diangkut dengan truk tentara ke tahanan.
Foto: AP
Anggota Pemuda Rakyat, sayap organisasi pemuda PKI, diangkut dengan truk tentara ke tahanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Internasional dari Universitas Paramadina Pipip A Rifai Hasan mengakui, pengungkapan dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) tahun 1963-1966 terkesan ingin membuat persepsi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai korban dan umat Muslim yang menjadi pelaku kekerasan. Tapi, harus diakui dan disadari, banyak korban tidak bersalah dalam peristiwa 1965 kala itu.

"Ya, ada kesan itu. Tapi harus disadari dan diakui, banyak korban yang tak bersalah dalam peristiwa 1965. Sesuatu yang sulit untuk dikendalikan dalam kondisi dan situasi semacam itu," ujar Pipip kepada Republika.co.id, Sabtu pekan lalu.
 
Ia menyebutkan, peran umat Muslim dalam pembunuhan anggota-anggota PKI pada 1965 diakui oleh kalangan mereka sendiri baik dalam bentuk buku, wawancara di film dokumenter, koran, majalah, dan sebagainya. Tapi, lanjut Pipip, peran tersebut harus dilihat dalam konteks sosial-politik saat itu.
 
"PKI sejak lahir 1950-an hingga 1965 melakukan berbagai aksi teror, seperti aksi sepihak merebut tanah di desa-desa khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali, termasuk dari ulama, khususnya dari kalangan NU," jelas Pipip.
 
Pipip mengatakan, situasi mencekam dan rasa ketakutan yang ditimbulkan dari aksi-aksi teror tersebut, termasuk penyerangan terhadap berbagai kegiatan keagamaan dan organisasi Islam, menimbulkan suasana psikologis yang mendalam terhadap kalangan umat Muslim. Suasana psikologis-sosial, serta ketegangan politik yang meliputi masyarakat Indonesia mendapat pembebasan dan penyalurannya ketika PKI menjadi tertuduh sebagai kekuatan di balik peristiwa G30SPKI.
 
"Rakyat dan kalangan umat Muslim menyalurkan rasa takut dan terancam yang mereka alami dengan tindakan brutal terhadap anggota PKI dan simpatisannya," kata dia.
 
Umat Muslim, jelas dia, masih menyimpan ingatan yang kuat terhadap pembantaian yang dilakukan PKI pada 1948. Pembantaian yang memakan demikian banyak korban di kalangan para ulama. Ulama-ulama pemimpin pesantren Gontor dan santri-santri di sana hampir mejadi korban pembantaian oleh PKI, tapi pasukan Siliwangi berhasil menyelamatkan mereka.
 
"Namun, pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI itu tidak mungkin dilakukan jika tidak dibantu dan difasilitasi oleh TNI. Dan bukan tidak mungkin CIA pun berperan dengan menyuplai dana dan informasi," kata Pipip.
 
Menurut dia, baik umat Muslim maupun TNI trauma dengan peristiwa 1948 di Madiun. Apa yang terjadi pada 1965 adalah civil war yang harus ada rekonsiliasi antara berbagai pihak yang terlibat.
 
Pipip menuturkan, juga seharusnya, anak keturunan PKI tidak didiskriminasi dan disuruh bertanggung jawab atas perbuatan orang tua mereka. Menurutnya, Islam tidak menganut dosa turunan.
 
"Hak-hak mereka sebagai warga negara harus sama dengan yang lain. Jika ada diskriminasi, hak-hak sebagai warga negara anak keturunan anggota PKI harus dipulihkan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement