Senin 16 Oct 2017 03:35 WIB

Agar Sepak Bola tak (Lagi) Meratapi Kematian

Fitriyan Zamzami.
Foto: Dok pribadi.
Fitriyan Zamzami.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Keindahan-keindahan tak jarang muncul dalam sepak bola Indonesia. Saat suporter tim yang kalah legawa berdamai dengan keadaan dan merengkuh suporter lawan, misalnya. Atau beberapa waktu lalu saat kita melihat tiga pemain Bali United merayakan gol dengan cara bersyukur tiga agama berbeda secara bersamaan.

Saat Aremania menyambangi Bali pekan lalu dan menyerahkan sumbangan untuk pengungsi Gunung Agung. Bobotoh Persib Bandung membikin koreografi massal mengecam kekejian terhadap etnis Rohingya di Rakhine sembari mengumpulkan sumbangan selanjutnya.

Atau sebelumnya saat suporter PSS Sleman, Persela Lamongan, PSPS Pekanbaru, Persebaya Surabaya, Borneo FC, PSM Makassar, Persik Kediri, Madura United, Sriwijaya FC, Persis Solo, dan Persija Jakarta berlaku serupa mendukung perjuangan bangsa Palestina kala Masjid al-Aqsha diblokade tentara Israel pertengahan tahun ini.

Sayangnya, bukan keindahan seperti itu saja yang mewarnai pertandingan-pertandingan lokal. Brutalitas yang berakibat fatal, sayangnya, masih jadi hal yang sejauh ini terus kita akrabi. Kebrutalan yang sepanjang dua tahun belakangan merenggut nyawa Ricko Andrean Maulana (22 tahun), Catur Yulianto (32), Ferdian Fikri (15), Harun Alrasyid Lestaluhu (30), Fahreza (16), dan yang terkini Banu Rusman (17), serta puluhan lainnya.

Sejak 1995, menurut catatan kelompok pemerhati sepakbola nasional Save Our Soccer, sebanyak 65 suporter telah kehilangan nyawa, sebagian besar terkait kericuhan atau pengeroyokan selepas pertandingan. Sepanjang 2017, sedikitnya 11 suporter meninggal. Jumlah itu hanya kalah dari rekor terbanyak sebelumnya, yakni 12 suporter pada 2012.

Di sela-sela ribuan suporter yang rajin memepaki stadion-stadion di Indonesia tiap pekan, ada bahaya bahwa angka-angka tersebut terhampar sebagai statistik semata. Angka-angka yang membuat kita abai bahwa masing-masing nama punya kisah, punya ayah-ibu dan kerabat serta kawan-kawan yang menangisi.

Tak boleh demikian! Dalam rangka tersebut, ijinkan saya mencoba menjabarkan apa yang membuat sepak bola lokal sedemikian mengerikan. Begini, sejak kompetisi lokal bermula hingga kini, kita bisa melihat ada beberapa musabab khas yang kerap kali berujung kericuhan.

Satu di antaranya adalah kualitas wasit memimpin pertandingan. Wasit-wasit yang “dinilai” membuat keputusan kontroversial ditingkahi pemain yang memprotes secara berlebihan biasanya jadi formula paten yang memicu kemarahan suporter dan kemudian berujung kericuhan. Contoh kejadian yang terkini adalah saat Madura United ditahan imbang Borneo FC pada Jumat (13/10) malam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement