Senin 16 Oct 2017 03:35 WIB

Agar Sepak Bola tak (Lagi) Meratapi Kematian

Fitriyan Zamzami.
Foto:

Saya ingat, dalam satu pertandingan antara Arema Indonesia melawan Persija di Gelora Bung Karno pada 2013, aparat yang menjegal seorang Aremania pembawa bendera justru dapat sorakan cemoohan dari pendukung tuan rumah.

Artinya, saat itu aparat abai terhadap psikologis dan relasi suporter Indonesia. Dalam kondisi yang lebih urgen, kesalahpahaman aparat terkait hal itu, semisal saat mereka mengabaikan kekecewaan mendalam suporter Persita yang gelap mata akibat gagal lolos ke Liga 1 pada pertandingan pekan lalu, berakibat fatal.

Dan tak jarang, faktor-faktor di atas bersirobok jadi ramuan yang kian mematikan. Belum lagi hal-hal tak kasat mata yang meracuni sepak bola Indonesia semacam sentimen kedaerahan, kecintaan yang overdosis, dan… politik.

Bukan artinya suporter tak punya salah, tapi siapa juga yang pernah menyertai kelompok suporter sepak bola Indonesia di stadion kiranya paham bahwa akal sehat tak bisa terlampau diharapkan dari kerumunan. Konsep benar-salah bisa jadi kabur jika tindakan tertentu dilakukan

secara massal.

Bagaimanapun, kita bisa mengharapkan pihak-pihak terkait seperti PSSI, penyelenggara liga, para wasit, para pemain, pemimpin kelompok suporter, atau aparat keamanan, bertindak lebih rasional, terukur, dan mitigatif.

Jika mereka bertekad menyudahi atau setidaknya mencegah sebisa mungkin kematian demi kematian yang mestinya tak perlu terjadi, anasir pemicu kericuhan di atas mesti jadi pertimbangan dan dikalkulasikan secara serius. Satu demi satu harus dibenahi sembari menyingkirkan kepentingan-kepentingan sempit dan sepihak yang tak ada urusannya

dengan sepak bola.

Sepak bola Indonesia harus dijaga pada semangatnya merayakan kehidupan alih-alih lagi dan lagi meratapi kematian demi kematian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement