Kamis 12 Oct 2017 15:42 WIB

Ini 5 Poin yang Didalami Komisi III di RDP dengan Kapolri

Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian (kiri) didampingi Wakapolri Komjen Pol Syafruddin (tengah) dan Kabaharkam Polri Komjen Pol Putut Eko Bayuseno mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/10).
Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian (kiri) didampingi Wakapolri Komjen Pol Syafruddin (tengah) dan Kabaharkam Polri Komjen Pol Putut Eko Bayuseno mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR akan mendalami lima poin saat Rapat Dengar Pendapat dengan Kapolri pada Kamis, seperti insiden di Blora, impor senjata, Operasi Tangkap Tangan, pemanggilan paksa, dan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi.

"Pertama, perlunya penjelasan terhadap beberapa perkembangan isu terkini yang pertama soal insiden Blora, namun saya yakin jajaran Polri sudah mendalami dan sedang mendalami insiden ini," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Kamis (12/10).

Dia menjelaskan untuk sementara Komisi III DPR baru menerima laporan dari kepolisian bahwa itu urusan pribadi anggota yang stres namun diharapkan ke depan peristiwa tersebut tidak boleh terjadi lagi. Politikus Partai Golkar itu, mengatakan Komisi III DPR minta Kapolri lebih ketat dalam hal pengawasan dan memberikan tanggung jawab penuh kepada atasan langsung para pelaku.

"Dan apabila ditemukan pelanggaran tindakan pertama yang harus dilakukan adalah penindakan tegas sanksi kepada atasan yang bersangkutan terutama dalam hal pengawasan persenjataan yang dimiliki oleh anggota," ujarnya.

Poin kedua, menurut dia, terkait polemik senjata diramaikan oleh Panglima TNI, sebenarnya sudah selesai karena urusan pemerintah disebabkan kurang koordinasi. Namun, dia mengatakan masyarakat sudah mendapatkan penjelasan Menkopolhukam agar urusan itu sudah diselesaikan dengan baik antarinstansi di bawah pemerintah dan Menkopolhukam.

Terkait dengan OTT diharapkan tidak boleh ada lagi OTT yang tidak diketahui kapolda di wilayah hukum polda masing masing di seluruh Indonesia. "Peristiwa di Malang tidak boleh terjadi lagi karena saudara kapoldanya tidak tahu ada kegiatan hukum di sana dan OTT hanya diberitahu kapolresnya," katanya.

Selain itu, dia menilai penggunaan aparat bersenjata untuk pengamanan ketika OTT tidak boleh berlebihan, karena seperti akan menangkap teroris, sedangkan yang ditangkap pejabat negara yang tidak mempunyai pasukan bersenjata.

Poin keempat, katanya, terkait dengan pemanggilan paksa yang sesuai UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, insititusi DPR diberikan kewenangan untuk memanggil paksa seseorang apabila dua kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan jelas.

"UU mengamanatkan pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan Polri. Polri tidak boleh menolak untuk melaksanakan UU tersebut walaupun belum ada hukum acaranya, namun saya yakin ada peluang penegakan dan melaksanakan UU," katanya.

Dia menjelaskan poin kelima, terkait dengan Densus Tipikor, penekanannya adalah kesiapan Polri karena Komisi III DPR berharap Densus tersebut bisa bekerja mulai 2018.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement