REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Menteri Koordinator Bidang Maritim, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), mencabut keputusan penghentian sementara proyek 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta mengandung kontroversi. Pasalnya, moratorium yang diterapkan sebelumnya berdasarkan pertimbangan rasional yang matang, namun dicabut begitu saja tanpa alasan konkret.
Sekjen Majelis Sinergi Kalam – Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (Masika-ICMI), Ismail Rumadan, menyayangkan dan merasa heran atas tindakan Luhut yang terkesan selalu memaksa untuk mendukung proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“KPK perlu memeriksa Menteri Luhut, sebab dipertanyakan apa motivasi di balik pencabutan mortorium tersebut. Padahal moraturium belum sampai setahun,” ujar Ismail dalam keterangan persnya kepada Republika, Ahad (8/10).
Selama ini, kata Ismail, Luhut memang terlihat selalu pro terhadap proyek yang sudah terbukti merusak lingkungan tersebut, sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sampai-sampai, sambung dia, Luhut sempat terlihat gusar saat Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anis Baswedan, hendak menghentikan proyek yang masih simpang siur perizinannya tersebut.
Sampai saat ini, menurut Ismail, Luhut mengeluarkan keputusan tanpa penjelasan rasional kepada masyarakat mengenai pencabutan moratorium pulau reklamasi yang dikeluarkannya. Padahal, moratorium itu dulunya dibuat dengan kesepakatan empat kementerian, Kemenko Maritim, KKP, Kementerian LKH, dan Kementerian ATR.
“Moratorium itu dulu dibuat oleh Bapak Rizal Ramli dengan pertimbangan masalah hukum dan masalah lingkungan akibat kegiatan reklamasi. Jadi itu sudah tepat dan berdasar,” tegas Ismail yang juga merupakan Dekan Fakutas Hukum Universitas Nasional.
Masika-ICMI menilai Luhut perlu menjelaskan rasionalisasi kebijakannya atau aparat penegak hukum perlu memeriksa motif di belakang manuver yang dilakukan Luhut tersebut.