REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Sekitar 200 hektare tanaman jagung di Pandeglang terancam gagal panen atau puso karena kekeringan akibat musim kemarau berkepanjangan. Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus M Tauchid, di Serang, Rabu (13/8), mengatakan, secara umum musim kemarau tidak terlalu berdampak serius untuk bidang pertanian.
Namun berdasarkan pantauan pihaknya, kata Agus, ada sekitar 200 hektare tanaman jagung di Pandeglang yang terancam puso. "Kami sudah tanya, Lebak tidak ada puso begitu juga Pandeglang. Memang betul ada bahaya tapi jauh di bawah 1.000 hektare. Yang kekeringan itu hanya tanaman jagung seluas 200 hektare di Kabupaten Pandeglang," katanya, Rabu.
Oleh karena itu, terkait ancaman gagal panen atau puso untuk jagung tersebut, pihaknya langsung menindaklajutinya dengan memaksimalkan pompanisasi. Hasilnya, ancaman puso 200 hektare tanaman jagung itu tingkatannya sudah berkurang. "Kita juga kerahkan mobilisasi pompanisasi dan lain sebaginya. Semua tertanggulangi," kata Agus.
Sedangkan terkait tanaman padi, Agus mengaku bahwa hingga saat ini tidak ada yang terancam puso. Sebab, semua petani di Banten sudah mengakhiri masa panen. "Kalau di Banten dipastikan tidak ada (tanaman padi) yang kekeringan. Kami dengan pasukan di tingkat bawah sudah mengadakan gerakan antisipasi dengan mengatur masa tanam. Semua sudah panen jadi tidak ada yang terancam," kata Agus.
Menurut dia, minimnya lahan yang mengalami kekeringan juga dikarenakan berdasarkan keterangan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Klas 1 Serang, kekeringan di Banten masih masuk kategori normal. Bahkan, prakiraan cuaca yang didapatkannya dari BMKG Serang menunjukan bahwa curah hujan di wilayah Banten Selatan masih termasuk menengah. "Akhir November curah hujannya akan naik menjadi tinggi," kata Agus.
Kasi Pelaksanaan Pelestarian pada Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau, Ciujung dan Cidurian (BBWSC3) Mulyadi mengatakan, selain dampak perubahan iklim, kekeringan juga disumbang oleh buruknya saluran irigasi. Penilaian terhadap kelayakan irigasi 2016-2017 menunjukkan bahwa masih banyak irigasi yang nilai kelayakannya berada di bawah 77 persen. "Untuk kekeringan, Sungai Ciujung dan Cidurian mempunyai ancaman kekeringan lebih besar dibanding yang lainnya. Perubahan iklim ikut memberikan peran ketidakmerataan air," kata Mulyadi