REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Q Wahid menyatakan, masyarakat dunia masih melihat Islam di Indonesia sebagai wajah Islam yang ramah. "Karena di Indonesia inilah orang dapat ber Islam secara nyaman dan tidak seperti di belahan dunia lain," kata Alissa Q Wahid di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Sabtu (9/9).
Alissa menjelaskan, ada dua jalur untuk penguatan hal itu. Yang pertama, untuk kelompok muslimnya itu ada penguatan Islam Indonesia, sehingga umat muslim di Indonesia ini menjadi model muslim secara global.
Kemudian, jalur keduanya adalah narasi kebangsaan, di mana kalau narasi keislaman untuk muslim dan narasi kebangsaan untuk seluruh elemen bangsa Indonesia. Ia mengatakan, hal itu perlu dipertahankan dengan tetap memelihara perdamaian, keamanan dan tetap bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap hidup berdampingan, saling menghormati, jika ini tidak bisa lagi dilakukan maka NKRI dalam bahaya kehancuran.
Hal iu, menurut Alissa bukan tanpa alasan. Dari potret yang didapat dari hasil survei yang telah dilakukan Gusdurian bersama Infid di beberapa daerah termasuk di Pontianak ditemukan, bahwa rasa intoleran terhadap pihak lain yang tidak sama dengan agama yang mereka peluk intensitasnya terlihat lebih emosional.
"Untuk di sini sebenarnya Gusdurian ingin memotret sebenarnya situasi Pontianak itu bagaimana, hal ini kami maksudkan agar nantinya apa yang paling tepat untuk kami respon. Dan kami juga kaget ternyata di Pontianak banyak sentimen-sentimen yang intensitasnya sudah lebih emosional dan lebih mengedepankan sentimen premodial dari pada sentimen kebangsaan," katanya.
Berdasarkan temuan itu, Alissa Q Wahid meminta media di Kalbar dapat mengambil berperan penting untuk meredam situasi itu agar nilai-nilai persatuan tidak menjadi hilang dalam kehidupan masyarakat. "Kami sangat berharap teman-teman media mau membantu dalam hal meredam hal ini. Media juga kami harapkan dapat berperan sesuai fungsinya sebagai pembentuk wacana publik dalam merubah arus sentimen tersebut tidak semakin kencang tapi diharapkan bisa berkurang," katanya.
Ia menambahkan, dalam survei itu ditemukan, bahwa di Pontianak dilihat dari pilihan umur, yakni semakin muda semakin tidak toleran. "Gambarannya yakni untuk kelompok umur 25-30 tahun itu terdapat 20 persen, 20-25 tahun naik menjadi 30 persen, dan 16-20 tahun semakin naik menjadi 40 persen sikap menolak kelompok lain. Ini yang harus kita perhatikan melalui pemberitaannya bagaimana caranya menyisir atau menyemai ide-ide kebangsaan guna memperkokoh kesatuan dan persatuan di kalangan anak muda," katanya.