REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto berpendapat, kenaikan dana bantuan pemerintah untuk partai politik yang membengkak sepuluh kali lipat, hingga mencapai Rp 124,92 Miliar, membebani keuangan negara. Pada saat bersamaan, DPR juga mengajukan kenaikan anggaran yang fantastis, mencapai Rp 7,2 triliun.
Namun demikian, lanjut Arif, ada kecenderungan dimana pemerintah dan DPR satu suara tentang lonjakan alokasi, yang terang menambah defisit APBN tersebut. Situasi tersebut tampaknya menggambarkan partai-partai politik sedang berusaha memanfaatkan sebesar mungkin anggaran negara untuk persiapan mereka menghadapi Pemilu 2019.
"Ini juga merupakan langkah pemerintah untuk menaikkan posisi tawar terhadap partai-partai politik. Seperti yang dinyatakan Wakil Presiden, supaya mereka (Parpol) tidak minta macam-macam," kata Arif saat dihubungi Republika, Rabu (30/8).
Arif kemudian menjelaskan, biaya politik yang demikian tinggi hanya akan berdampak positif jika sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan politik publik, yang selama ini kerap diabaikan partai-partai politik. Selain itu, biaya politik tinggi juga akan positif jika dialokasikan untuk pemberdayaan pemilih, yang pada Pemilu 2014 berjumlah 186.612.255.
"Ini baru akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas Pemilu dan demokrasi Indonesia," tambah Arif.
Seperti diketahui, pemerintah telah memutuskan menaikkan dana bantuan untuk partai politik hampir sepuluh kali lipat, dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000 per suara. Jika ditotal, dana yang dihabiskan untuk 12 partai politik peserta pemilu 2014 lalu sebelum kenaikan sebesar Rp 13,42 Miliar. Namun, setelah kenaikan diketok, maka angkanya akan melonjak hingga Rp 124,92 Miliar.