REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal nonaktif Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono mengatakan, terkait keris, tombak hingga batu akik yang ikut disita penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat penggeledahan di rumahnya pada Jumat (25/8) lalu bukanlah hasil gratifkasi. Tonny menyatakan keris-keris yang disita tersebut merupakan milik pribadinya.
"Soal keris begini, ini saya jelasin. Saya itu anak Alas Roban, kalau masalah keris itu milik pribadi saya," kata Tonny sambil tersenyum usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (29/8).
Alas Roban merupakan kawasan hutan di wilayah Batang, Jawa Tengah yang kerap dikaitkan dengan cerita mistis. Sambil berguyon, Tonny menyebut keris hingga tombak itu digunakan dirinya untuk perang Baratayuda.
"Bukan (gratifikasi), milik pribadi, kok gratifikasi. Itu untuk perang, perang Brotoyudo," ucapnya sambil tertawa.
Sebelumnya, dari penggeledahan pada Jumat (25/8) di Mess Perwira Ditjen Hubla, Jalan Gunung Sahari penyidik menemukan sekitar lima buah keris, satu tombak, lebih dari lima jam tangan dan lebih dari 20 cincin dan batu akik dengan ikatan yang diduga emas kuning dan putih.
Total sekitar 50 items yang disita. Barang-barang tersebut disita karena diduga merupakan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan tersangka.
Dalam kasus terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Dirjen Hubla mulai tahun 2016 sampai dengan tahun 2017 ini, KPK menetapkan Antonius Tonny Budianto dan Adiputra Kurniawan (APK), Komisars PT Adhi Guna Keruktama (AGK) sebagai tersangka.
Diduga Adiputra melakukan suap sebesar Rp 20,074 miliar terhadap Antonius terkait pekerjaan pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
Perlu diketahui dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK sejak Rabu (23/8) malam sampai Kamis (24/8) siang, KPK mengamankan lima orang yakni Antonius, Adiputra; S, Manajer Keuangan PT Adhiguna Keruktama; DG Direktur PT Adhiguna Kerukatama dan W Kepala Subdirektorat Pengerukan dan Reklamasi Ditjen Hubla.
Atas perbuatannya, selaku pemberi suap, Adiputra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pihak yang diduga penerima, Antonius disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.