Senin 28 Aug 2017 21:28 WIB

Lemhanas Sebut 90 Persen Masyarakat Bisa Jadi Penyebar Hoaks

Red: Nur Aini
 Masyarakat usai membubuhkan cap tangan saat kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat usai membubuhkan cap tangan saat kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan 90 persen masyarakat yang tidak menyaring berita yang diterima akan berpotensi menjadi penyebar hoaks atau berita bohong.

"Penyebar berita bohong dengan niat tidak baik hanya berpengaruh 10 persen, lainnya 90 persen adalah kita yang menyebar berita bohong, bila kita percaya dan menganggap bahwa jika sesuatu yang segaris dengan keinginan saya, atau bahwa saya tidak suka dengan sesuatu, itu saya sebarluaskan," kata Agus di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (28/8).

Agus menambahkan, masyarakat yang mudah percaya pada sesuatu kabar tanpa menyaring atau mengecek ulang kebenarannya termasuk faktor yang melemahkan ketahanan negara. "Masyarakat titik terlemah karena bisa berimplikasi luas, jadi 90 persen ini bergantung pada tingkat pemahaman masyarakat dan kecerdasan masyarakat untuk tidak mudah dipermainkan oleh berita bohong," kata dia.

Oleh karena itu, Gubernur Lemhanas mengimbau masyarakat untuk menyaring berita sebelum terlanjur percaya dan menyebarkannya secara luas. Agus menyebutkan untuk menyaring berita, antara lain memeriksa kredibilitas sumber, isi berita, dan membandingkan satu berita dengan berita lain.

"Ini faktor pembelajaran pencerahan kepada publik sebagai langkah-langkah pertama pertahanan terhadap berita bohong yang dapat dimulai dari diri sendiri," kata dia.

Dari sisi lain, Lemhanas meminta agar pemerintah dapat memperkuat sistem teknologi informasi untuk menangkal hoaks yang disebarkan melalui media sosial. Pemerintah juga harus berani menegakkan hukum bagi penyebar hoaks yang intensitasnya sampai membahayakan keamanan nasional sehingga dapat menjadi pembelajaran yang efektif bagi masyarakat.

"Kita lihat efektifitasnya, apa yang bisa dikatakan sebagai penyebaran yang bisa merusak stabilitas keamanan nasional, mana yang bisa memecah belah masyarakat, apakah sudah ada ketentuan yang ada dalam KUHP kita, jika belum, maka harus dimasukkan dalam program legislasi," kata Agus.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement