REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan sindikat Saracen membuktikan ada sekelompok orang yang memang menjadikan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial sebagai barang dagangan. Ketua Lembaga Riset Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), yang juga pakar keamanan siber, Pratama Persadha, mengatakan tren hoax tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia.
Bahkan pada pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) 2016 lalu, masyarakat AS bertubi-tubi dihantam berita hoax. Media penyampaian hoax di seluruh dunia hampir sama, lewat media sosial dan pesan instan.
"Penangkapan tim siber Saracen mengkonfirmasi bahwa ada sekelompok orang yang memang menjadikan isu SARA di media sosial sebagai barang jualan mereka," kata Pratama kepada Republika.co.id, Sabtu (26/8).
Pratama mengingatkan, pada 2015, polisi sempat membekuk pengelola akun Twitter TrioMacan yang legendaris dengan berbagai isunya dan menjadi salah satu berita paling hangat saat itu. Dia menyebut, alasan media sosial dan pesan instan seperti Whatsapp menjadi lokasi favorit para penyebar konten hoax. Menurut Pratama, hal itu karena memang saat ini pemakai media sosial di Tanah Air sudah sangat banyak.
Dia mengatakan, pemakai internet di Indonesia sudah lebih dari 132 juta orang, pemakai layanan Google sudah lebih dari 100 juta orang, sedangkan pemakai Facebook dan Whatsapp sudah lebih dari 80 juta orang. "Tentu ini menjadi peluang bagi mereka," ujarnya.
Menurut Pratama, perkembangan teknologi membuat persebaran konten hoax menjadi sangat cepat dan tepat sasaran. "Para pelaku bisa melakukan kluster pada grup Whatsapp maupun grup Facebook yang mereka buat, dibuat kluster berdasarkan agama, daerah, suku bahkan pengkotakan model lainnya," kata Pratama.
Seperti diberitakan sebelumnya, polisi mengungkap keberadaan kelompok Saracen yang bekerja menyebarkan konten-konten berbau SARA di media sosial. Saracen memiliki ratusan ribu akun media sosial yang siap menyebarkan konten-konten tersebut agar viral di jagat maya.
Konten-konten ini dinyatakan sebagai pesanan pihak-pihak tertentu yang tarifnya mencapai puluhan juta rupiah. Pengungkapan kelompok Saracen ini mulanya terjadi tanpa sengaja, ketika polisi sedang mengusut kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo.