Kamis 24 Aug 2017 07:12 WIB

Indonesia Bermutu Gagas Rembugnas Pendidikan Antikorupsi

Tim Indonesia Bermutu menyerahkan laporan pelaksanaan kegiatan penyusunan modul Antikorupsi di kantor KPK Jakarta, Rabu (23/8).
Foto: Dok IB
Tim Indonesia Bermutu menyerahkan laporan pelaksanaan kegiatan penyusunan modul Antikorupsi di kantor KPK Jakarta, Rabu (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia Bermutu (IB) memprakarsai rembug nasional (rembugnas) pendidikan antikorupsi. Peneliti IB Afrizal Sinaro mengatakan, rembunas  ini direncanakan bekerja sama dengan KPK dan sifatnya lintas kementerian dan lembaga.

“Kita juga perlu merangkul para relawan yang tergabung dalam berbagai organisasi yang selama ini telah terbukti semangatnya untuk memerangi korupsi, di samping itu. Kita juga akan melibatkan DPR, MPR, dan partai politik. IB memandang langkah ini langkah strategis karena kita tidak ingin anak cucu kita kelak mewarisi pola pikir yang tidak baik,” ujar Afrizal usai  penyerahan laporan pelaksanaan kegiatan penyusunan modul Antikorupsi di kantor KPK Jakarta, Rabu (23/8).

Setidaknya ada tiga hal yang akan dibahas di Rembugnas ini nanti, yaitu kejelasan dan ketegasan regulasi , kelembagaan yang efektif, dan pelibatan semua komponen masyarakat. “Sebagai program unggulan, IB juga akan mempersiapkan perangkat pengukuran indeks integritas yang komprehensif guna untuk memotret seberapa besar peluang terjadinya perilaku koruptif di suatu lembaga, terutama lembaga pendidikan,” tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (24/8).

Direncanakan rembugnas akan digelar sekitar bulan Oktober atau November  2017 yang akan datang. “Kegiatan tersebut sekaligus menyongsong peringatan hari Antikorupsi Internasional,” kata Afrizal Sinaro.

Dalam kesempatan yang sama, Pendiri IB Deni Hadiana mengatakan, tindak pidana korupsi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja dan terencana. Modal utamanya adalah kepiawaian berbohong. “Bohong itu tidak ada yang kebetulan atau tanpa sengaja. Para pelakunya telah mempersiapkan dengan matang jauh-jauh hari sebelum eksekusi,” kata  Deni.

Deni menambahkan, kelengkapan administrasi, sistem dan kelembagaanya sudah dipersiapkan dengan matang oleh para pelaku korupsi tersebut. “Inilah mengapa tindak pidana korupsi disebut sebagai ‘extraordinary crime’, kejahatan yang terstruktur sehingga sulit sekali untuk membuktikannya, kita baru menyadari setelah uang rakyat raib dalam jumlah yang tidak sedikit,” ujarnya.

Untuk itulah, kata Deni, IB berkomitmen untuk berintegrasi dan “meleburkan” diri dengan KPK dalam melancarkan program-program pendidikan Antikorupsi. “Kita harus menyelamatkan anak cucu kita  dari pola-pola pikir koruptif,” tegas Deni.

Ketua tim penyusun modul Antikorupsi Akhmad Supriyatna mengatakan, Pendidikan Antikorupsi  adalah bentuk nyata dari penguatan karakter. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan  menempatkan akhlak mulia dan kekuatan spritual keagamaan sebagai tujuan utama.

“Pada satu sisi, kita sangat paham bahwa sifat-sifat kebaikan sudah menjadi fitrahnya manusia, dan pada sisi lain, semua mata pelajaran memuat nilai-nilai sebagai muatan intinya,” ujar Supriyatna.

Dengan menyadari hal ini, pendidikan Antikorupsi, atau penguatan karakter tidak akan membebani siapa-siapa, apalagi guru, murid atau orang tua. “Justeru, dengan mengedepankan penguatan karakter, setiap individu peserta didik dengan sendirinya akan membangun dirinya dari dalam,” tuturnya.

Ketika anak memiliki karakter yang kuat, ia pasti menolak dengan keras ajakan untuk melakukan kebohongan, ia sangat menghargai mutu, dan tidak mau jalan pintas. “Kita tahu bahwa tindakan meremehkan mutu, ingin jalan pintas adalah bibit potensial dalam melahirkan tindakan-tindakan koruptif. Jika hal tidak dikendalikan sejak dini, maka setelah dewasa nanti, anak-anak yang tadinya anak manis, patuh, dan cerdas, tiba-tiba terlibat tindak pidana korupsi yang sangat besar,” papar   Akhmad Supriyatna.

Peneliti IB Zulfikri Anas mengemukakan, ketika praktik labor pada mata pelajaran IPA, guru perlu lebih mengutamakan tatakrama, displin dan prosedur kerja daripada hasil percobaanya. Guru selalu mengingatkan siswa jangan sekali-kali melakukan manipulasi data, jika ini dilakukan dan anak terbiasa melakukannya.

“Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi bila dewasa dan kebetulan ia bekerja di laboratorium makanan, nuklir, forensik, atau bekerja di tempat lain yang berkaitan dengan pendataan. Jika sejak masa sekolah anak sudah terbiasa memanipulasi, sangat besar peluang baginya untuk melakukan hal yang sama demi keungtungan pribadi,” tuturnya.

Untuk itu, pembelajaran akan bermakna apabila ada kolaborasi antar bidang studi. “Artinya, jika kita membelajarkan IPA secara tersendiri dan terpisah tanpa dikolaborasikan dengan mata pelajaran lain seperti PPKN, Agama, bahasa, prakarya dan seterusnya,  akan sulit untuk merealisasikan pendidikan antikorupsi ini. Ini membutikan bahwa persoalan pendidikan Antikorupsi dan penguatan karakter bukan bersumber pada substansi mata pelajaran tapi, berhubungan dengan bagiamana mengelola pembelajaran secara efektif,” tegas Zulfikri Anas.

Pembina IB Prof  Burhanuddin Tola  PhD menambahkan, peran IB adalah membantu pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa persoalan pendidikan nasional  bukan pada substansi  kurikulumnya. “Dan kita tidak perlu mengubah kurikulum. Yang harus dilakukan adalah fokus pada penguatan guru-guru  agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan mengedepankan penguatan karakter sebagai tujuan utama, apapun bidang studi yang diampunya,” kata Burhanuddin Tola.

Agar ini berjalan dengan baik, kata Burhanuddin, pemerintah perlu fokus pada  validitas standar kemampuan yang akan dicapai, peningkatan profesional guru, membangun sistem yang efektif untuk mengontrol kualitas pencapaian hasil belajar. “Sekolah harus diberi ruang yang seluas-luasnya untuk berkreasi, dan serahkan  kurikulum sepenuhnya ke sekolah,” ujarnya.

Dalam kaitan ini, IB merasa perlu memprekarsai rembug nasional untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh untuk dapat keluar dari berbagai kemelut. “Masyarakat sudah lelah dengan perubahan kurikulum,  yang mereka butuhkan adalah jaminan dunia pendidikan bahwa anaknya bisa hidup lebih baik dan menjadi yang berguna,” papar Burhanuddin Tola.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement