REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Agung No. 37 P/HUM/2017 terkait tentang Uji Materi terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek bisa memicu keresahan, kata Pengamat Transportasi Universitas Katholik Soegijaprana Djoko Setidjowarno.
"Putusan MA No. 37 P/HUM/2017 dapat memicu keresahan di kalangan pebisnis transportasi umum yang sudah lama berusaha", kata Djoko dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (22/8).
Menurut dia, hanya menggunakan dasar hukum UU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan UU Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) masih dirasa kurang. Apalagi, lanjut dia, menggunakan istilah taksi konvensional, mestinya yang lebih tepat adalah taksi resmi karena dilindungi undang-undang.
"Usaha 'online' bukan termasuk UMKM, tetapi pemodal besar yang berlindung seolah UMKM. Cukup besar modal untuk memberi subsidi bertarif murah. Yang akhirnya juga tidak akan murah selamanya," katanya.
Dia menambahkan pendapat ahli dan lembaga yang terkait aktivitas transportasi juga tidak dilakukan. Menurut Djoko, pertimbangan UU Perlindungan Konsumen dan UU Persaingan Usaha dan Anti Monopoli sangat diperlukan.
"Di saat pemerintah sedang gencarnya menata transportasi umum yang kian terpuruk, seyogyanya para hakim MA berpikir lebih realistis. Oleh sebab itu, pertimbangan sosiologis keberagaman masyarakat Indonesia perlu dipertimbangkan secara matang," katanya.
Djoko menjelaskan pada prinsipnya, transportasi orang harus mengandung unsur selamat, aman dan nyaman, sementara daring adalah sistem bukan berlaku sebagai operator transportasi mengatur segalanya melebihi kewenangan regulator transportasi.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah harus punya instrumen untuk mengawasi praktik bisnis transportasi di manapun untuk menjaga keseimbangan dan penataan transportasi secara nasional. Hendaknya, dia menyarankan hakim di MA sebelum memutuskan, mau mendengarkan banyak pemangku kepentingan secara langsung, misalnya Organisasi Angkutan Darat (Organda), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dan akademisi bidang transportasi.
"Jika nanti ujung dari putusan ini akan menjadi masalah baru di daerah, hendaknya hakim yang memutuskan harus berani bertanggung jawab," katanya.