Kamis 03 Aug 2017 18:23 WIB

Pemerintah Pertimbangkan Buka Blokir Telegram

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Indira Rezkisari
CEO Telegram Pavel Durov (kiri) bersama Dirjen Aptika Samuel Abrijani Pangerapan menggelar konferensi pers usai pertemuan di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Selasa (1/8).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
CEO Telegram Pavel Durov (kiri) bersama Dirjen Aptika Samuel Abrijani Pangerapan menggelar konferensi pers usai pertemuan di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Selasa (1/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Rudiantara mengatakan, pemerintah mempertimbangkan untuk membuka blokir Telegram. Akan tetapi, pemerintah memberikan syarat bahwa Telegram harus menyelesaikan standard operational procedure (SOP) dengan membuat script atau algoritma secara otomatis.

"Semacam self-censoring, jadi kalau ada konten (negatif) langsung diblok," ujar Rudiantara ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Kamis (3/8).

Rudiantara mengatakan, sebelum Telegram diblokir pemerintah sudah memberikan peringatan setiap tiga bulan sekali melalui email agar layanan over the top service tersebut membuat SOP. Rudiantara mengimbau agar Telegram segera membuat SOP sehingga dapat menyaring konten-konten negatif.

"Makin cepat makin bagus, untuk kepentingan bersama," kata Rudiantara.

Selanjutnya, Rudiantara akan memanggil Google dan layanan over the top service lainnya untuk meningkatkan service level sebagai upaya untuk menangani konten negatif. Sebelumnya, CEO Telegram Paul Durov telah bertemu dengan Rudiantara di kantornya.

Rudiantara mengapresiasi respons CEO Telegram Pavel Durov untuk membangun kerja sama dengan pihak Indonesia. Respons itu menyusul pemblokiran Kemenkominfo terhadap aplikasi asal Rusia tersebut dengan alasan mencegah konten terkait terorisme.

Rudiantara juga mengaku saat ini sudah meminta perusahaan Telegram membentuk tim teknis untuk berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia secara intens. Menurutnya, Durov telah menindaklanjuti permintaan Kemenkominfo. Selain itu, ia berujar, Durov juga mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif, seperti radikalisme dan terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement