REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Profesi seorang jurnalis dalam menjalankan tugasnya rentan mendapat kekerasan dan persekusi. Di Indonesia, keadaan itu ini peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Adapun yang dimaksud kategori kekerasan, mencakup pengusiran, serangan fisik, hingga pemidanaan karya jurnalistik.
Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), setidaknya dalam tiga tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis meningkat. Tercatat, pada 2017 sebanyak 64 kasus. Tahun 2018 ada 64 kasus. Sementara kekerasan pada aksi 22 Mei 2019, ditemukan 20 kasus.
Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini digelar Konferensi Global untuk Kebebasan Media di London, Inggris. Indonesia turut berkomitmen untuk mendukung dan meningkatkan upaya mengatasi kekerasan terhadap jurnalis melalui institusi multilateral, asosiasi para jurnalis, dan organisasi sipil.
“Upaya ini sebagai komitmen bersama, tentunya semua negara yang hadir memberikan dukungan untuk pekerja dan entitas media yang risiko ancaman kekerasannya cukup tinggi,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara di London.
Dalam siaran pers, Senin (22/7), Rudiantara mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat kebebasan media. Termasuk bersinergi bersama masyarakat sipil, organisasi media, para ahli komunikasi, dan lain sebagainya untuk membuat berbagai rencana visioner.
“Tujuan ini sebenarnya bagus. Kenapa? Karena ini semua akan menunjukan bahwa ads solidaritas pemerintah bersama dengan ekosistem di pers. Salah satu output-nya nanti untuk menciptakan kerangka nasional dan perencanaan aksi demi keamanan teman-teman jurnalis,” kata Rudiantara.
Rudiantara menjelaskan, rancangan internasional yang digagas tersebut, sebagai upaya yang didorong semua negara peserta konferensi global melalui PBB dan organisasi internasional lainnya. "Harapannya nanti memang membangun satuan tugas," katanya.