Sabtu 03 May 2025 15:58 WIB

RSF: Kebebasan Pers di Dunia Berada pada Titik Terendah

Selain masih mengalami kekerasan, pers global juga mengalami tekanan ekonomi.

Perlengkapan yang dipakai oleh jurnalis saat meliput di Gaza, Palestina.
Foto: Antara/ANADOLU
Perlengkapan yang dipakai oleh jurnalis saat meliput di Gaza, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reporters Without Borders (RSF) pada Jumat (3/5/2025) merilis Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 dengan mengatakan bahwa selain masih mengalami kekerasan, pers global juga mengalami tekanan ekonomi. Organisasi non-pemerintah itu, yang didirikan pada 1985 dan berbasis di Paris, melaporkan bahwa kebebasan pers di dunia "berada pada titik terendah" dan kondisinya "kritis" karena penurunannya terus berlanjut pada tahun ini.

Dalam pernyataan di situs resminya, RSF mengatakan bahwa di tengah menurunnya kebebasan pers di banyak negara di dunia, ada satu faktor utama yang secara serius melemahkan media yakni tekanan ekonomi. Indikator ekonomi dalam penyusunan peringkat indeks dengan jelas menunjukkan bahwa media massa kini menghadapi dilema antara mempertahankan independensi pemberitaan dan memastikan kelangsungan hidup mereka, menurut pernyataan itu.

Baca Juga

"Ketika media berita terkendala secara finansial, mereka akan terjerumus dalam persaingan untuk menarik khalayak dengan mengorbankan pemberitaan yang berkualitas," kata Anne Bocande, Direktur Editorial RSF, dalam pernyataan itu.

Dia menambahkan bahwa kemandirian media secara finansial menjadi syarat untuk memastikan ketersediaan informasi yang bebas dan dapat dipercaya untuk kepentingan publik. Menurut data yang dikumpulkan oleh RSF untuk Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, di 160 dari 180 negara yang dinilai, media mengalami kesulitan keuangan dan bahkan ada yang tidak memiliki anggaran sama sekali.

Di sepertiga dari 180 negara itu, sejumlah media terpaksa ditutup karena kesulitan ekonomi. Kondisi itu terjadi di Amerika Serikat, Tunisia, dan Argentina.

Situasi di Palestina bahkan lebih buruk. Di Jalur Gaza, serangan Israel telah menghancurkan gedung-gedung media dan menewaskan hampir 200 wartawan.

RSF menuding raksasa teknologi global seperti Google, Apple, dan Meta (Facebook) telah merebut pendapatan iklan yang selama ini menjadi penopang hidup media. Total pengeluaran iklan di media sosial mencapai 247,3 miliar dolar AS (hampir Rp407 triliun) pada 2024, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya.

RSF juga menyebut bahwa platform daring telah menghambat ruang informasi karena ikut menyebarkan konten menyesatkan yang memperkuat disinformasi. Menurut organisasi itu, konsentrasi kepemilikan media di tangan para pembesar politik juga mengancam kemajemukan media di beberapa negara.

Di India, Indonesia, dan Malaysia, kata RSF, konglomerat yang memiliki koneksi politik dinilai mengendalikan sebagian besar grup media. Indeks Kebebasan Pers 2025 yang dirilis RSF menempatkan Indonesia di posisi 127, turun 16 tingkat dibandingkan tahun lalu. Peringkat pertama masih ditempati Norwegia dan peringkat terakhir masih diduduki Eritrea.

Peringkat AS juga turun dua tingkat ke posisi 57, Tunisia turun 11 tingkat ke posisi 129, dan Argentina melorot 21 tingkat ke posisi 87. India (151) dan Malaysia (88) termasuk negara-negara yang indeks kebebasan persnya mengalami peningkatan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement