REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan terus menjaga iklim investasi ekonomi digital dalam negeri. Hal ini karena tantangan ke depan berbagai negara juga mengembangkan model bisnis yang sama dengan apa yang berkembang saat ini di Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengamini hal ini. Ia menjelaskan, pemerintah sadar betul atas tantangan ini, maka untuk mendukung pertumbuhan sektor ekonomi digital ini, pemerintah mengambil langkah light touch regulation atau pendekatan yang lebih ramah.
"Kita pemerintah ingin mempermudah regulasi. Jadi, startup tidak perlu minta ijin ke kami. Sebab, kiita kan berubah menghadapi dunia dan teknologi. Jadi jangan sampai kita regulasinya heavy. Kalau nggak perlu izin, ya nanti izin di sektor aja," ujar Rudi di Kantor Kominfo, Selasa (26/2).
Disatu sisi, kata Rudi selain tak perlu izin yang berbelit, kedepan Rudi sudah berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk bisa membantu para pelaku ekonomi digital ini mendapatkan akses permodalan yang mudah.
"Kita juga memberkan fasilitas. Ada kembangkan 1.000 startup. Sekarang banyak anak muda pakai IT dan ponsel. Kita fasilitasi itu, untuk dia diinkubasi buat capital series B atau apalah. Kita kordinasi dengan pak Thomas (BKPM)," ujar Rudi.
Kepala BKPM, Thomas Trikasih Lembong juga mengamini hal ini. Ia mengatakan potensi yang ada saat ini di Indonesia bukan tidak mungkin dilirik oleh negara tetangga. Thomas menjelaskan, jika iklim di Indonesia tidak kondusif, maka para calon investor ini bukan tidak mugkin akan mengalihkan modalnya ke negara tetangga.
"Negara tetangga itu mulai melek. Mulai all out, habis habisaan mendorong startup mereka, mereka mendorong ekonomi digital mereka, untuk bisa berlomba menarik modal yg sama. Jadi mungkin, ancaman utama kalau arus modal ini dialihkan ke negara tetangga," ujar Thomas dilokasi yang sama.
Thomas menjelaskan perlu ada sentuhan yang baik dan atraktif dalam aturan dan akses modal di Indonesia saat ini. Jangan sampai malah aturan dan koridor yang dibuat malah menghambat pertumbuhan.
"Kita harus dangat cooparative dengan regulasi kondusif dengan sentuhan yg baik, pendekatan yg bersahabat. Karena kalau ngga negara tetangga udah siap untuk ambil," ujar Thomas.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso juga mengamini tantangan ini. Namun, kata Wimboh memberikan akses bukan berarti memberikan keleluasaan tanpa ada koridor regulasi. Wimboh berpendapat, jika di negara lain persoalan aturan diserahkan kepada mekanisme pasar, di Indonesia mengambil langkah, negara ikut andil agar menjamin keselamatan konsumen.
Ia menjelaskan bahwa khususnya dalam aplikasi keuangan, kerahasiaan data nasabah menjadi amat penting. Wimboh menjelaskan atas dasar itulah mengapa OJK sangat ketat memberlakukan aturan aturan berdirinya sebuah platform keuangan (Fintech).
Aturan yang selama ini dikeluarkan oleh OJK, kata Wimboh menjaga agar tak hanya kerahasiaan data nasabah saja, tetapi juga untuk menjaga agar penyelenggara aplikasi keuangan tersebut juga tidak merugikan masyarakat.
"Kita jadi bisa memonitor dengan jelas. Kita kasih koridor bagaimana mereka operasinya mencapai tujuan. Masyarakat bisa mengakses kebutuhannya dengan cepat tapi tidak dibohongi," ujar Wimboh dilokasi yang sama.
Ia juga menjelaskan OJK berkomitmen untuk melindungi data nasabah dan juga memastikan bahwa nasabah mendapatkan pelayanan terbaik. "Ini tugas kami. Konsumen ini yang penting. di financial sektor. Itu lah kita kasih koridor. Bukan melarang, tapi ini jalurnya. Sehingga OJK keluarkan kebijakan berkaitan soal fintech produk," ujar dia.