REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik perkawinan anak masih banyak terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) menunjukkan pada 2012 ada 989.814 anak perempuan menjadi korban praktek perkawinan anak, pada 2013 ada 954.518 perkawinan anak, dan pada 2014 ada 722.518 perkawinan anak.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan saat ini Indonesia belum memiliki satu pun undang-undang yang mengatur tentang pencegahan dan penghapusan perkawinan di usia anak. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru melegalkan perkawinan di usia anak.
Pada 2007, Komite CEDAW menyerukan agar Indonesia menaikkan batas usia perkawinan perempuan, yang dibarengi dengan upaya pemerintah untuk menunda perempuan melakukan perkawinan sampai usia 20 tahun. "Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum menindaklanjuti seruan tersebut," kata Dian, di Bakoel Koffie Cikini, Ahad (23/7).
Dian memaparkan pada tahun 2015 perkawinan anak di Indonesia mencapai 23 persen. BPS menyatakan bahwa "satu dari lima perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun".
Menurut Dian, masyarakat sipil telah melakukan sejumlah upaya untuk menaikkan batas usia pernikahan perempuan. Di antaranya, permohonan Judicial Review atas UU Perkawinan No 1 tahun 1974 untuk menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan menjadi 18 tahun pada 2014. Namun, majelis hakim menolak permohonan tersebut.
Masyarakat sipil juga pernah mengajukan rancangan Perppu tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak pada 2016 lalu. Namun, Dian mengungkapkan, rencana tersebut masih terkatung-katung belum ada kejelasan sikap dari Presiden.
Saat ini, sekelompok masyarakat sipil kembali mengajukan permohonan Judicial Review atas UU No 1 Tahun 1974 untuk menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan menjadi 19. Permohonan ini masih menunggu keputusan Sidang Pleno Hakim Mahkamah Konstitusi.
Menurut Dian, perlawanan atas masalah perkawinan anak justru dilakukan dari berbagai daerah yang angka perkawinan anaknya tinggi di Indonesia, seperti Kabupaten Gunung Kidul lewat Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak pada 24 Juli 2015.
Provinsi Nusa Tenggara Barat juga telah mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan. Peraturan tersebut merekomendasikan usia perkawinan untuk laki dan perempuan minimal 21 tahun.
Koalisi Perempuan Indonesia menuntut penghapusan praktik perkawinan anak. "Negara, terutama pemerintah bertanggung jawab untuk menghentikan praktek perkawinan anak. DPR dan pemerintah harus segera menerbitkan hukum untuk menghentikan praktek ini," kata Dian.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia ini menuntut agar pemerintah secara partisipatif menyusun Rencana Aksi Nasional untuk mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia. Menurutnya, pemerintah pusat lamban menanggapi keprihatinan dunia atas praktik perkawinan anak di berbagai dunia.
"Ada 80 negara yang telah mendukung Resolusi PBB No A/HRC/35/L.26 tentang Perkawinan Anak, dan Indonesia bukan salah satunya," ungkap Dian.