Rabu 12 Jul 2017 08:27 WIB

KPU Buat Alat Peraga Kampanye Dinilai Batasi Partisipasi

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nur Aini
Pejalan kaki melintas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang dipasangi alat peraga kampanye yang telah rusak di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (9/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pejalan kaki melintas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang dipasangi alat peraga kampanye yang telah rusak di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembuatan alat peraga kampanye dan baliho kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang dibebankan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sama saja membatasi hak demokrasi rakyat. Padahal, partisipasi rakyat merupakan roh dari pemilihan umum.

"Esensi Pilkada, atau Pemilu, itu adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat. Jadi, yang berdemokrasi dan berpartisipasi itu kan rakyat. Ketika rakyat tidak diperbolehkan memberikan instrumen, spanduk, atau baliho untuk calon yang didukung, berarti itu menghilangkan hak mereka," ujar Pengamat Politik Muchtar Effendi ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (11/7).

Muchtar mengakui, tujuan KPU memberlakukan hal itu agar peserta Pilkada tidak jor-joran, adanya keadilan, dan pemerataan instrumen Pilkada. Tetapi, di lain pihak itu membatasi hak-hak rakyat untuk berpartisipasi.

"Padahal, di dalam pemilihan itu justru rohnya adalah partisipasi rakyat. Kemudian juga manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat," kata Muchtar.

Ia mengatakan, silakan KPU memberi instrumen sesuai dengan prinsip-prinsip mereka. Tetapi, rakyat juga diberi ruang untuk berpartisipasi menyumbang instrumen-instrumen untuk mendukung pasangan calonnya. Jadi, tidak 100 persen dibebankan ke KPU.

"Yang penting kan KPU membuat standarisasi. Misal, bentuk balihonya begini, begini, nggak boleh begini, kalimatnya ada batas-batasnya. Itu bisa. Tetapi volume jumlah instrumen itu jangan dibatasi," ujarnya.

Muchtar menambahkan, ia melihat kebijakan itu memiliki implikasi negatif terhadap kegairahan atau partisipasi masyarakat dalam proses kampanye. Ia pun menyebutkan, pendidikan politik untuk masyarakat menjadi homogen.

"Lihat sendiri pendidikan politiknya jadi homogen. Nggak meriah. Masyarakat jadi tidak terdidik, tidak menggairahkan," kata Muchtar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement