Rabu 07 Jun 2017 04:49 WIB

Ketika Roem Membela Bung Karno: Citra ‘Old Guard’ Revolusi!

Proklamator Sukarno berkuda sembari menginspeksi pasukan TKR.
Foto: ANRI
Proklamator Sukarno berkuda sembari menginspeksi pasukan TKR.

Oleh: Lukman Hakiem*

Pada 15 September 1980, koran 'Kompas' menurunkan tulisan wartawan senior H Rosihan Anwar berjudul: "Perbedaan Analisa Politik Antara Soekarno dan Hatta."

Menurut mantan pemimpin koran Pedoman itu,  waktu Bung Karno masih meringkuk di penjara Sukamiskin, Bandung, menunggu keputusan pengasingan berdasarkan "exhorbitante rechten" yang zalim itu, Bung Karno menulis empat pucuk surat kepada Jaksa Agung dari Mahkamah Agung Jakarta Pusat (Aan den Procureur General van het Hoofdparket te Batavia Centrum) masing-masing tertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933.

Menurut Rosihan, melalui empat suratnya itu Sukarno meminta kepada Jaksa Agung Hindia Belanda supaya dia dibebaskan dari penjara. Bung Karno berjanji tidak akan lagi mengambil bagian dalam urusan politik untuk masa hidup selanjutnya. Bung Karno mengakui betapa tidak bertanggungjawabnya kegiatan-kegiatan politiknya.

Apabila pemerintah Belanda membebaskannya,  Bung Karno berjanji akan bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Akhirnya Sukarno menawarkan untuk menandatangani apa saja yang dikehendaki oleh pemerintah Hindia-Belanda guna memperoleh pembebasan dari penjara Sukamiskin.

Rosihan mengaku, informasi yang dia tulis diperoleh dari buku sarjana Australia, John Ingleson berjudul "Road to Exile --The Indonesian Nationalist Movement 1927-1934" yang diterbitkan oleh Asian Studies Association of Australia,  Southeast Asian Publication Series,  1979. Edisi Indonesia buku ini telah diterbitkan oleh LP3ES,  Jakarta.

Itu Mah Pamali

Membandingkan prilaku politik antara Sukarno dengan Mohammad Hatta,  Rosihan antara lain menulis: "Sebuah perbedaan lain ialah dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Hindia Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten, dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno ahli pidato yang bergembar-gembor,  lekas bertekuk lutut.

Pada bulan Oktober 1980, serangkaian tanggapan terhadap tulisan Rosihan segera muncul di Kompas.

Kolumnis H Mahbub Djunaidi mendatangi dan mewawancarai mantan istri Bung Karno,  Inggit Garnasih. Hasil wawancaranya diturunkan dalam sebuah tulisan berjudul: "Itu Mah Pamali,  Itu Mah Mustahil, Kata Ibu Inggit."

Kolumnis Ayip Bakar menurunkan tanggapan berjudul: "Di Sini Tertutup,  Di Sana Ditelanjangi." Kolumnis Anwar Luthan menanggapi dengan tulisan berjudul: "Antara Taktik dan Asas dalam Politik."

Mahbub dan Luthan mempertanyakan, apakah Rosihan sudah membaca langsung surat-surat Bung Karno yang minta ampun kepada Belanda.

Rosihan yang telah menghebohkan dunia politik dan sejarah modern Indonesia, justru bersikap tidak mau memberi tanggapan balik. "Oleh karena saya tidak menginginkan berkembangnya suatu polemik, maka saya tidak mau menanggapi balik tulisan-tulisan tersebut," kata Rosihan.

 

Rosihan baru merespons,  sesudah mantan Wakil Perdana Menteri, Mr Mohamad Roem, menurunkan tulisan berjudul: "Surat-surat dari Penjara Sukamiskin" (Kompas,  25 Januari 1981).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement