Rabu 07 Jun 2017 04:49 WIB

Ketika Roem Membela Bung Karno: Citra ‘Old Guard’ Revolusi!

Proklamator Sukarno berkuda sembari menginspeksi pasukan TKR.
Foto: IST
Sukarno dan Mohammad Hatta

Barulah pada 14 Februari 1980, Rosihan Anwar menjawab. Dalam tanggapan baliknya terhadap tulisan Roem, Rosihan menulis: "Sebabnya saya mengutip surat-surat Ir Sukarno, sebab saya mengemukakan Sukarno minta ampun dan lekas bertekuk lutut di depan Pemerintah Hindia-Belanda, bukan saja karena saya mau menunjukkan perbedaannya dengan Dr Mohammad Hatta yang lain sifatnya, melainkan juga karena setahu saya, begitulah salah satu kelemahan Sukarno.

Rosihan kemudian mengingatkan para pembacanya mengenai peristiwa di tahun 1948 ketika Presiden Sukarno menyatakan kepada rakyat --dan keterangan itu dimuat dalam majalah politik Siasat yang dipimpin Rosihan-- bahwa dia akan memimpin perang gerilya melawan Belanda.

"Tetapi apa yang terjadi tidak lama kemudian,  yakni pada tanggal 19 Desember 1948, tatkala tentara Belanda menduduki lapangan terbang Maguwo dan sedang bergerak menuju kota Yogyakarta?" tanya Rosihan.

Menurut Rosihan,  Presiden Sukarno justeru menyuruh Kepala Rumah Tangga Istana supaya keluar istana sambil membawa kain putih tanda menyerah kepada Belanda,  dan tidak pernah memenuhi janjinya untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. "Kebalikannya yang terjadi,  ia membiarkan dirinya ditawan oleh tentara Belanda," tulis Rosihan.

Terhadap tuduhan bertekuk lutut ini, Roem menjawab bahwa Rosihan hanya berhasil bahwa Sukarno berjanji untuk memimpin perang gerilya. Akan tetapi Rosihan tidak tahu atau lupa bahwa pada 19 Desember 1948, sekitar pukul 10 pagi,  kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hatta bersidang dan memutuskan: memberi mandat kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk melanjutkan perjuangan dengan membentuk Pemerintah Darurat,  dan pemerintah tetap tinggal di Yogyakarta.

 

"Karena tidak seorangpun dari Pemerintah yang pernah mengatakan akan ikut atau memimpin gerilya,  maka keputusan itu terang ditujukan kepada Sukarno," tulis Roem. Bahwa keputusan itu tidak dimuat di "Siasat" yang dipimpin Rosihan, tidak berarti keputusan kabinet itu tidak ada.

Tulisan Roem disambut dengan penuh suka cita oleh koran Merdeka pimpinan BM Diah. Koran kaum nasionalis ini pada 16 Februari 1981 menurunkan Tajuk Rencana yang memuji tulisan Roem yang dengan kesadaran seorang ‘old guard’ revolusi Agustus 1945 telah mengupas cara-cara spekulatif yang dipakai Rosihan Anwar untuk membuat suatu tulisan yang pada pokoknya adalah: Sukarno seorang pengecut, seorang yang menyerah, dan kompromis dengan Belanda.

Mengapa Roem yang bukan saja partainya dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Sukarno, bahkan dirinya pernah dijebloskan oleh rezim Sukarno ke penjara selama 4 tahun 4 bulan tanpa diadili,  justru membela orang yang memenjarakannya?

Mengenai ini,  Roem menulis, "Tentang Bung Karno saya beberapa kali menulis karangan dalam mana saya menyoroti pribadinya dan kebijaksanaannya."

Menurut Roem,  Bung Karno sering kehilangan obyektifitas sama sekali, lebih-lebih tentang penghargaannya kepada Hatta dan Sutan Sjahrir. "Saya rasa tidak ada satu perkataanpun yang perlu saya tarik kembali," tulis Roem.

Roem mengingatkan, "Kita telah mendirikan patung Bung Karno untuk menghormatinya sebagai Proklamator bersama Bung Hatta." Menurut bekas Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri yang namanya terabadikan dalam Persetujuan Roem-Roijen, kalau kita memandang Bung Karno sebagai seorang yang gampang bertekuk lutut, bagaimana kita harus memandang diri kita sendiri.

 

Roem menegaskan menjaga citra Presiden pertama Republik Indonesia,  adalah tanggung jawab seluruh anak bangsa.  

 

*Lukman Hakiem, peminat sejarah, mantan staf ahli Wapres Hamzah Haz dan M Natsir.        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement