Rabu 07 Jun 2017 04:49 WIB

Ketika Roem Membela Bung Karno: Citra ‘Old Guard’ Revolusi!

Proklamator Sukarno berkuda sembari menginspeksi pasukan TKR.
Foto: RNW
Rosihan Anwar

Ketika tulisan Rosihan terbit di Kompas,  salah seorang keponakan Roem sedang berada di Belanda untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang penyerahan atau pengakuan kedaulatan Indonesia. Kepada keponakannya itu, Roem meminta agar dicopykan surat-surat Sukarno yang menghebohkan itu.

Dalam foto copy surat 30 Agustus 1933, Sukarno memulai dengan perkataan bahwa surat ini bersifat "confidenteel" (tidak untuk umum,  rahasia), kecuali jika dia bersalah melakukan "woordbreuk" (mengingkari janji).

Sesudah itu Sukarno memohon agar dia --begitu juga istri, anak, ibu,  dan ayahnya yang sudah tua-- jangan diapa-apakan dan membebaskan dari tuntutan hukum selanjutnya.

Surat pertama ini yang palin panjang,  tiga halaman lebih sedikit. Surat kedua, 7 September 1933, memperkuat surat pertama antara lain bahwa Sukarno bersedia menerima syarat apapun untuk memungkinkan pembebasannya.

Surat ketiga, 27 September 1933, Sukarno melampirkan dua surat: (1) dialamatkan kepada istrinya,  dan (2) untuk Pengurus Besar Partai Indonesia (Partindo).

Inti suratnya ialah untuk benar-benar memutuskan semua ikatan antara Sukarno dan istrinya dengan partai dan kawan-kawan separtai. Kepada Inggit,  Sukarno meminta agar menutup semua pintu bagi semua bentuk politik.  Kepada PB partindo disampaikan pemberitahuan pengunduran diri sebagai Ketua Umum dan anggota Partindo.

Nah, empat pucuk surat permohonan ampun Bung Karno di Belanda,  menurut Roem,  tidak lebih dari salinan belaka.  Akan tetapi,  salinan yang otentik.  Artinya salinan yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu.

Salinan itu diketik,  dan tidak disertai tanda tangan Sukarno, hanya dicantumkan kalimat: "ditandatangani oleh Sukarno." Di bawahnya ditandai dengan formula: "Voor eensluidend afscrift, de Gouvernement-secretaris", kemudian ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan.

 

"Ini berarti," tulis Roem, "dari surat palsu juga dapat dibuat salinan yang otentik." Jika yang ada di Belanda hanya salinan,  berarti surat asli yang ditandangani oleh Bung Karno --kalau ada--masih ada di Indonesia.  Melalui keponakannya,  Roem sudah mengecek ke Arsip Nasional, ternyata juga tidak ada.

Kepada Mahbub, Ibu Inggit mengaku tidak pernah menerima surat dari Sukarno saat suaminya itu dipenjara."Meskipun kesaksian seorang istri dalam urusan pengadilan tidak banyak bobotnya," tulis Roem, "setidaknya hal itu menimbulkan pertanyaan."

Tentang surat ke PB Partindo, Roem telah bertanya kepada bekas pemimpin Partindo,  Soediro. "Bapak Soediro menerangkan tidak pernah mendengar,  dan menambahkan bahwa jika itu benar, tentu di waktu itu sudah menimbulkan kegoncangan dalam Partindo," kata tokoh partai Masyumi yang dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Sukarno.

Dari penelusurannya itu,  Roem menulis: "Surat-surat Bung Karno yang ada di Belanda,  yang hanya berupa salinan otentik,  belum meyakinkan saya bahwa Sukarno sendiri yang menulisnya, atau mengetiknya,  atau suruh mengetik."

Roem juga menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa Belanda yang digunakan dalam salinan surat Sukarno yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang lulusan HBS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement