Ahad 21 May 2017 07:46 WIB

Warga Sleman Bentuk Sekolah Pengrajin Bambu untuk Lestarikan Budaya

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Andi Nur Aminah
Kerajinan Bambu
Foto: Antara
Kerajinan Bambu

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Minat generasi muda terhadap kerajinan furniture bambu mulai berkurang. Seperti di wilayah Dusun Gentan, Margoagung, Seyegan yang merupakan salah satu basis sentra industri kerajinan bambu di Sleman. Keinginan memperoleh pendapatan instan seperti menjadi buruh bangunan dan malas berkreasi menjadi alasan warganya meninggalkan profesi sebagai pengrajin furnitur bambu yang sudah turun temurun diwariskan.

Berkaca dari kondisi tersebut, Marzuni selaku Ketua Kelompok Pengrajin Bambu ‘Roose Bambu’ di Dusun Gentan berinisiatif membentuk Sekolah Pengrajin Bambu bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa. Ditemui di tempat kerjanya saat memberikan materi pelatihan pembuatan maket konstruksi bambu pada Sabtu (20/5), Marzuni menuturkan bahwa sejak 1980 hingga 1990-an akhir, hampir setiap rumah di Dusun Gentan adalah produsen lincak. “Sekarang yang tersisa hanya 45 pengrajin, itupun masih kembang kempis,” katanya.

Sekolah tersebut ia dirikan dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan para pengrajin dan generasi muda di wilayahnya dalam bidang produksi kerajinan bambu. Selain untuk meningkatkan derajat ekonomi serta menambah penghasilan, kegiatan ini pun ditujukan untuk melestarikan budaya membuat kerajinan lokal yang sekarang sudah tidak lagi banyak digeluti.

Mernurut Marzuni, jika digarap secara serius kerajinan ini juga cukup membawa angin segar. Pasalnya harga kerajinan bambu terbilang lumayan tinggi. Misalnya harga satu set furniture meja dan kursi bambu di pasaran dijual sekitar Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta.

Mengingat kebutuhan bahan baku untuk furnitur yang semakin mahal, Marzuni juga membuat Sekolah Pembibitan bambu dan Sekolah Pengawetan Bambu bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya agar bambu seperti jenis Wulung, Apus, Tutul, dan Petung dapat lestari dan terus tersedia untuk memenuhi bahan baku kerajinan bambu.

“Bibit bambu juga sangat dibutuhkan untuk suplai konservasi lingkungan. Selain itu usaha pembibitan bambu juga menjadi tambahan penghasilan bagi keluarga tidak mampu yang tidak tertarik memproduksi kerajinan bambu,” papar Marzuni.

Sementara itu Dosen Teknik Sipil UGM, Inggar Septia Irawati menuturkan bahwa bambu memiliki keunggulan karakteristik tertentu di atas kayu. Menurutnya bambu memiliki sifat yang mirip dengan kayu. Namun untuk sifat tertentu lebih tinggi seperti sifat tarik yang hampir sama dengan baja.

Dibandingkan kayu, bambu lebih cepat beregenerasi. Karena hanya memerlukan waktu tiga tahun, sedangkan kayu paling cepat lima tahun. “Jika kayu dalam pemanfaatannya ditebang habis, bambu tidak. Dalam satu rumpun, bambu tumbuh 8 tunas sehingga dalam penebangan bisa disisakan tiga untuk regenerasi tunas lagi,” papar Inggar.

Ia berharap, ke depannya pengolahan bambu di Indonesia dapat semakin maju untuk mengurangi ketergantungan pada kayu. Seperti di Cina yang sudah mampu memproduksi bambu laminasi menyerupai kayu. Inggar mengatakan, ia sedang bekerjasama dengan Teknik Mesin UGM untuk mengembangkan alat produksi bambu laminasi.

“Kita tidak bisa serta merta mendatangkan alat dari Cina untuk memproduksi bambu laminasi karena karakter bambu kita berbeda. Jika di Cina dari pangkal ke ujung ukuran bambunya sama, ditempat kita dari pangkal besar dan ke ujung semakin kecil,” ujar Inggar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement