Kamis 18 May 2017 20:44 WIB

Pimpinan MPR: Pertikaian Saat Ini Sudah Penuh Hasutan dan Memecah Belah

Rep: Amri Amrullah/ Red: Teguh Firmansyah
Wakil Ketua MPR RI  Mahyudin.
Foto: mpr
Wakil Ketua MPR RI Mahyudin.

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengungkapkan, pimpinan MPR RI menangkap kegelisahan masyarakat akhir-akhir ini terkait potensi perpecahan bangsa yang makin meruncing dan kompleks usai Pilkada DKI Jakarta.

Awalnya hanya masalah perbedaan pilihan tapi lama kelamaan aroma SARA makin kentara dan terlihat jelas menjadi sumber pertikaian dan konflik terutama di dunia maya atau media sosial.  Media sosial adalah sarana efektif dalam menyelipkan benih-benih permusuhan.

Fenomena sekarang sangat mengerikan dan mengkhawatirkan. Rakyat dipaksa melihat tontonan yang tidak bisa menjadi tuntunan. Rakyat dipaksa untuk memilih satu sisi dengan memusuhi sisi lain yang berbeda.

Hal tersebut diungkapkan Mahyudin di depan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banjarmasin dalam gelar acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kerjasama MPR RI dengan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Selatan, di aula Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Kamis (18/5).

Mahyudin mengatakan, tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa memulai. Namun pasti ada yang mengompori terutama di media sosial.   "Kita tidak tahu siapa yang membuat dan yang memulai di media sosial apakah di dalam negeri atau asing. Yang pasti sangat penuh dengan hasutan, provokasi, mengadu domba dan memecah belah," katanya.

Mahyudin menekankan, fenomena tersebut tidak bisa dianggap remeh. Banyak fakta yang terjadi di berbagai negara, peperangan saudara di negara-negara yang berkonflik seperti Irak, Mesir dan Suriah awalnya dari hasutan, provokasi melawan pemerintah dan ingin mengganti pemerintahan. Sampai sekarang tidak pernah selesai dan makin banyak menimbulkan korban.

"Apakah hal tersebut tidak mungkin terjadi di Indonesia, itu sangat bisa terjadi jika kita tidak antisipasi sekarang.  Kami pimpinan MPR merasakan keresahan rakyat tersebut.  Dialog tentang kebangsaan dan Pancasila makin sering diinginkan rakyat sekarang untuk melawan potensi-potensi perpecahan bangsa," imbuhnya.

Sebenarnya, lanjut Mahyudin, rakyat Indonesia sangat mengetahui dan paham soal Pancasila tapi kadang-kadang jika tidak diingatkan akan lupa terus.  Ini yang harus diingat.  Indonesia adalah negara ber-Pancasila bukan negara agama dan  sekuler. Indonesia adalah negara yang wajib beragama.

"Dengan agama, rakyat Indonesia harus saling hormat menghormati sehingga terbina kerukunan hidup.  Fenomena panas saat ini karena agama masuk ke ranah politik dan itu masalah.  Padahal semestinya politik sangat dilarang membawa-bawa SARA," ungkap Mahyudin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement