Kamis 11 May 2017 19:38 WIB

Komisi VIII DPR Ungkap Kendala untuk Revisi Aturan Batas Usia Nikah

Rep: Muhyiddin/ Red: Nur Aini
Cincin perkawinan.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Cincin perkawinan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) telah menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2017 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (8/5). Rakernas tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang salah satunya merekomendasikan untuk merevisi Undang-undang (UU) Perkawinan.

Dalam Raker itu, Fatayat NU mengusulkan agar batas minimal usia perkawinan untuk wanita diubah dari usia 16 tahun menjadi 18 tahun. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Noor Ahmad mengatakan, sebenarnya permasalahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sudah lama menjadi perdebatan.

Hal ini karena, kata dia, terdapat sejumlah pro kontra di kalangan masyarakat sendiri, sehingga belum tuntutan itu belum juga direalisasikan. "Di masyarakat masih dihadapkan pada pro kontra. Terutama sekali pada saat itu kan juga disampaikan ke MA kan, dan nyatanya masih memberlakukan yang 16 tahun," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (11/5).

Menurut dia, masyarakat atau organisasi yang ingin agar undang-undang tersebut direvisi lantaran usia batas anak yang tercatat pada konvensi Internasional tentang hak anak adalah 18 tahun. Namun, di sisi lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang jika diubah akan memperbanyak pernikahan siri.

"Pertimbangannya terutama MUI ya saat itu, karena dikhawatirkan nanti kalau usia diperpanjang jadi 18, akan muncul perkawinan siri, lebih banyak lagi. Kalau toh tidak perwakaninan siri, maka bisa jadi akan muncul perbuatan perzinaan karena dikekang tidak bisa menikah 16 tahun," ucapnya.

Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI tersebut menuturkan, bagi yang ingin merevisi juga memandang bahwa dengan di usia 16 tahun maka akan banyak perceraian. Namun, kata dia, meskipun di daerah pedesaan banyak masyarakat yang menikah pada umur 16 tahun banyak juga yang tak berakhir dalam perceraian. "Yang banyak perceraian kan di kota-kota. Artinya apa, bahwa masih terjadi perbedaan persoalan umur tersebut," katanya.

Kendati demikian, menurutnya, DPR akan sangat aspiratif dalam melihat perkembangan terkait persoalan tersebut. Jika tuntutan untuk merevisi undang-undang tersebut dilakukan oleh mayoritas masyarakat atau organisasi ia pun mempersilahkan untuk disampaikan ke DPR.

Namun, kata dia, jika hanya satu atau dua organisasi yang menuntut perubahan undang-undang tersebut maka DPR tentu akan mempertimbangkan lagi. "Jadi kalau terjadi revisi undang-undang itu masih mungkin tetapi dewan juga tidak serta merta karena persoalan ini juga sudah lama dan diperdebatkan sejak lama," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement