REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Basuki Tjahja Purnama dalam sidang kasus penodaan agama, Selasa (9/5). Pendukung Basuki alias Ahok memprotes putusan hakim tersebut dan menanggapnya bermuatan politis.
Menanggapi hal itu, Dewan Pakar ICMI Pusat Anton Digdoyo menilai bagi yang paham hukum pasti menilai vonis hakim tersebut itu sudah tepat. Karena vonis dua tahun itu sesuai dengan fakta hukum yang ditemukan selama dalam persidangan.
"Banyak fakta yang sangat memberatkan terpidana di antaranya fakta pertama dia terbukti menista Alquran sebagai kitab suci agama Islam," kata Anton menjawab pertanyaan Republika.co.id, Kamis, (11/5).
Fakta kedua menurut Anton, unsur-unsur "dengan sengaja" telah terpenuhi. Ketiga Ahok tidak merasa bersalah dan tidak menyesal bahkan berpotensi mengulangi perbuatannya.
Keempat Ahok sangat meresahkan masyarakat terkait ucapannya. Kelima atas apa yang telah dilakukannya dalam hal ini menista agama telah memecah belah bangsa. Keenam vonis dua tahun ini bukan karena Pilkada.
"Ini murni penodaan agama, karena fakta dari sidang pertama sampai sidang ke-20 tak satupun saksi yang mengaitkan kasus ini dengan pilkada," ujarnya.
Oleh karenanya, kata Anton, putusan Majelis Hakim itu sudah tepat dan bukan putusan yang bersifat Ultra Petita, atau vonis melebihi tuntutan JPU. "Itu murni kasus pidana sedangkan Ultra Petita biasa berlaku dalam kasus perdata," katanya.
Fakta ke tujuh menurut Anton lewat putusan hakim yang vonisnya melampaui tuntutan jaksa itu dibenarkan karena hakim bukan hanya bertugas menegakkan hukum, tetapi juga menegakkan keadilan. Pertimbangan rasa keadilan itulah kata Anton yang membuat hakim memvonis Ahok melampaui tuntutan jaksa.
Apalagi kata Anton hakim masih gunakan salah satu pasal yang dipakai jaksa mendakwa Ahok, yakni pasal 156a maka, hakim tetap mengacu pada dakwaan dan fakta persidangan dalam membuat putusan.
Atas dasar itulah menurut purnawirawan Polri ini, tuntutan jaksa hanya bahan pertimbangan semua mesti taat hukum. "Jangan minta penangguhan pidananya dan minta dipindah ke tempat yang bukan lapas," katanya.
Anton meminta semua pihak harus bisa membedakan terpidana denga tahanan. Terpidana itu dengan vonis hakim tidak bisa ditangguhkan dan penahanannya pun tidak boleh dititipkan. Untuk itu negara harus menjamin tegaknya UU dan kepastian juga kesamaan dalam hukum. "Alangkah kacau balaunya hukum jika terpidana bisa ditangguhkan pemidanaannya," kata dia.